BAB UMMU WALAD

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ummu walad.
(فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ
Ketika sang majikan, baik islam atau kafir, menjima’ budak perempuannnya, walapun saat haidl, mahramnya, telah dinikahkan dengan orang lain, atau tidak sampai dijima’ akan tetapi si budak memasukkan penis atau sperma sang majikan yang muhtaram, kemudian si budak melahirkan bayi yang hidup, mati atau janin yang wajib diberi ganti rugi budak yaitu janin yang berupa daging yang sudah nampak bentuk anak Adam pada janin tersebut, dalam sebagian redaksi “dari bentuk anak Adam” bagi setiap orang atau bagi wania-wanita ahli khubrah, dan dengan  melahirkan apa yang telah disebutkan tersebut si budak berstatus mustauladah bagi sang majikan, maka kalau demikian haram bagi sang majikan untuk menjualnya sekaligus juga batal.
(وَإِذَا أَصَابَ) أَيْ وَطِئَ (السَّيِّدُ) مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا (أَمَّتَهُ) وَلَوْ كَانَتْ حَائِضًا أَوْ مَحْرَمًا لَهُ أَوْ مُزَوَّجَةً أَوْ لَمْ يُصِبْهَا وَلَكِنِ اسْتَدْخَلَتْ ذَكَرَهُ أَوْ مَاءَهُ الْمُحْتَرَمَ (فَوَضَعَتْ) حَيًّا أَوْ مَيِّتًا أَوْ مَا يَجِبُ فِيْهِ غُرَّةٌ وَهُوَ (مَا) أَيْ لَحْمٌ (تَبَيَّنَ فِيْهِ شَيْئٌ مِنْ خَلْقِ آدَمِيٍّ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ مِنْ خَلْقِ الْآدَمِيِّيْنَ لِكُلِّ أَحَدٍ أَوْ لِأَهْل ِالْخُبْرَةِ مِنَ النِّسَاءِ وَيَثْبُتُ بِوَضْعِهَا مَا ذُكِرَ كَوْنُهَا مُسْتَوْلَدَةً لِسَيِّدِهَا وَحِيْنَئِذٍ (حَرُمَ عَلَيْهِ بَيْعُهَا) مَعَ بُطْلَانِهِ أَيْضًا
Kecuali dijual pada si budak itu sendiri, maka hukumnya tidak haram dan tidak batal.

إِلَّا مِنْ نَفْسِهَا فَلَا يَحْرُمُ وَلَا يَبْطُلُ
Bagi sang majikan juga haram untuk menggadaikan, menghibahkan dan mewasiatkannya.

(وَ) حَرُمَ عَلَيْهِ أَيْضًا (رَهْنُهَا وَهِبَّتُهَا) وَالْوَصِيَّةُ بِهَا
Bagi sang majikan diperkenankan memanfaatkan si budak sebagai pelayan, dijima’, disewakan dan dipinjamkan.

(وَجَازَ لَهُ التَّصَرُّفُ فِيْهَا بِالْاِسْتِخْدَامِ وَالْوَطْءِ) وَ بِالْإِجَارَةِ وَالْإِعَارَةِ
Bagi sang majikan juga berhak menerima ganti rugi dari luka yang dilakukan pada si budak dan anak-anaknya yang mengikut pada si budak, dan berhak mendapatkan ganti rugi harga si budak ketika ia dibunuh dan harga anak-anaknya ketika mereka dibunuh.
وَلَهُ أَيْضًا أُرْشُ جِنَايَةٍ عَلَيْهَا وَعَلَى أَوْلَادِهَا التَّابِعِيْنَ لَهَا وَقِيْمَتُهَا إِذَا قُتِلَتْ وَقِيْمَتُهُمْ إِذَا قُتِلُوْا
Dan diperkenankan menikahkannya tanpa seizin darinya kecuali ketika sang majikan orang kafir dan si budak adalah wanita muslim, maka ia tidak bisa untuk menikahkannya.
وَتَزْوِيْجُهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا إِلَّا إِذَاكَانَ السَّيِّدُ كَافِرًا وَهِيَ مُسْلِمَةٌ فَلَا يُزَوِّجُهَا. 
Ketika sang majikan meninggal dunia walaupun sebab dibunuh oleh si budak, maka budak tersebut merdeka dan dikeluarkan dari seluruh harta peninggalan majikannya (tidak dari sepertiganya saja), begitu juga anak-anaknya merdeka sebelum melunasi hutang-hutang yang menjadi tanggungan sang majikan dan wasiat-wasiat yang telah diwasiatkannya.
(وَإِذَا مَاتَ السَّيِّدُ) وَلَوْ بِقَتْلِهَا لَهُ (عَتَقَتْ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ) وَكَذَا عَتَقَ أَوْلَادُهَا (قَبْلَ) دَفْعِ (الدُّيُوْنِ) الَّتِيْ عَلَى السَّيِّدِ (وَالْوَصَايَا) الَّتِيْ أَوْصَى بِهَا
Anaknya maksudnya budak mustauladah dari selain majikannya, dengan arti setelah menjadi mustauladah, si budak melahirkan anak dari suaminya atau dari zina, hukumnya seperti ibunya.

(وَوَلَدُهَا) أَيِ الْمُسْتَوْلَدَةِ (مِنْ غَيْرِهِ) أَيْ غَيْرِ السَّيِّدِ بِأَنْ وَلَدَتْ بَعْدَ اسْتِيْلَادِهَا وَلَدًا مِنْ زَوْجٍ أَوْ مِنْ زِنًا (بِمَنْزِلَتِهَا)
Kalau demikian, maka anak yang dilahirkan adalah milik sang majikan dan akan merdeka sebab kematian sang majikan.

وَحِيْنَئِذٍ فَالْوَلَدُ الَّذِيْ وَلَدَتْهُ لِلسَّيِّدِ يَعْتِقُ بِمَوْتِهِ
Barang siapa menjima’ budak perempuan orang lain dengan cara nikah atau zina dan membuatnya hamil kemudian si budak melahirkan anak darinya, maka anak tersebut milik majikan si budak.

(وَمَنْ أَصَابَ) أَيْ وَطِئَ (أَمَّةَ غَيْرِهِ بِنِكَاحٍ) أَوْ زِنًا وَأَحْبَلَهَا فَوَلَدَتْ مِنْهُ (فَوَلَدُهُ مِنْهَا مَمْلُوْكٌ لِسَيِّدِهَا)
Adapun seandainya ada seseorang yang ditipu dengan status merdekanya budak wanita, kemudian orang tersebut menyebabkan si budak melahirkan anak, maka anak tersebut menjadi merdeka, dan bagi orang yang tertipu tersebut harus mengganti harga sang anak kepada majikan budak perempuan itu.
أَمَّا لَوْ غُرَّ شَخْصٌ بِحُرِّيِّةِ أَمَّةٍ فَأَوْلَدَهَا فَالْوَلَدُ حُرٌّ وَعَلَى الْمَغْرُوْرِ قِيْمَتُهُ لِسَيِّدِهَا.
Jika seseorang menjima’nya, maksudnya budak wanita orang lain dengan cara syubhat yang dinisbatkan pada si pelaku seperti ia menyangka bahwa sesungguhnya budak itu adalah budaknya atau istrinya yang merdeka, maka anak yang lahir dari budak wanita tersebut adalah merdeka.

(وَإِنْ أَصَابَهَا) أَيْ أَمَّةَ غَيْرِهِ (بِشُبْهَةٍ) مَنْسُوْبَةٍ لِلْفَاعِلِ كَظَنِّهِ أَنَّهَا أَمَّتَهُ أَوْ زَوْجَتَهُ الْحُرَّةَ (فَوَلَدُهُ مِنْهَا حُرٌّ
Dan bagi orang tersebut harus mengganti harga si anak kepada majikan si budak, dan budak perempuan tersebut tidak menjadi ummu walad untuk saat itu tanpa ada perbedaan di antara ulama’.

وَعَلَيْهِ قِيْمَتُهُ لِلسَّيِّدِ) وَلَا تَصِيْرُ أُمَّ وَلَدٍ فِيْ الْحَالِ بِلَا خِلَافٍ
Jika orang yang telah menjima’ budak perempuan dengan jalan pernikahan telah memiliki budak tersebut yang telah ditalak setelah itu, maka si budak tidak menjadi ummu walad sebab jima’ yang dilakukan dalam pernikahan sebelumnya.
(وَإِنْ مَلَكَ) الْوَاطِئُ بِالنِّكَاحِ (الْأَمَّةَ الْمُطَلَّقَةَ بَعْدَ ذَلِكَ لَمْ تَصِرْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ بِالْوَطْءِ فِيْ النِّكَاحِ) السَّابِقِ
Dan budak tersebut menjadi ummu walad sebab dijima’ dengan syubhat sebelumnya menurut salah satu dari dua pendapat.

(وَصَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ بِالْوَطْءِ بِالشُّبْهَةِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ)
Sedangkan menurut pendapat kedua, budak wanita tersebut tidak menjadi ummu walad bagi si majikan. Dan ini adalah pendapat yang unggul di dalam madzhab.
وَالْقَوْلُ الثَّانِيْ لَا تَصِيْرُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ وَهُوَ الرَّاجِحُ فِيْ الْمَذْهَبِ


وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَاب

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Arti Mukmin

BAB BUDAK MUDABBAR

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum at tadbir.

(فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ (التَّدْبِيْرِ)
At tadbir secara bahasa adalah melihat pada akhir dari perkara-perkara. Dan secara syara’ adalah memerdekakan setelah meninggal dunia.
وَهُوَ لُغَةً النَّظَرُ فِيْ عَوَاقِبِ الْأُمُوْرِ وَشَرْعًا عِتْقٌ عَنْ دُبُرِ الْحَيَاةِ
Mushannif menjelaskannya dengan perkataan beliau, “barang siapa, maksudnya majikan ketika berkata pada budaknya seumpama, ‘ketika aku meninggal dunia, maka engkau mendeka,’ maka budak tersebut adalah budak mudabbar.
وَذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ (وَمَنْ) أَيْ وَالسَّيِّدُ إِذَا (قَالَ لِعَبْدِهِ) مَثَلًا (إِذَا مُتُّ) أَنَا (فَأَنْتَ حُرٌّ فَهُوَ) أَيِ الْعَبْدُ (مُدَبَّرٌ
Yang akan merdeka setelah wafatnya sang majikan dari sepertiganya, maksudnya sepertiga harta sang majikan, jika seluruh bagian budak tersebut masuk dalam hitungan dari sepertiga.
يَعْتِقُ بَعْدَ وَفَاتِهِ) أَيِ السَّيِّدِ (مِنْ ثُلُثِهِ) أَيْ ثُلُثِ مَالِهِ إِنْ خَرَجَ كُلُّهُ مِنَ الثُّلُثِ
Jika tidak termasuk, maka yang merdeka adalah sebagian yang masuk dalam hitungan sepertiga jika memang ahli waris tidak mengizini semuanya.

وَ إِلَّا عَتَقَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا يَخْرُجُ مِنَ الثُّلُثِ إِنْ لَمْ تُجِزِ الْوَرَثَةُ
Yang telah disebutkan oleh mushannif adalah bentuk tadbir yang sharih. Dan di antaranya adalah ungkapan, “aku memerdekakanmu setelah aku meninggal dunia.”

وَمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ هُوَ مِنْ صَرِيْحِ التَّدْبِيْرِ وَمِنْهُ أَعْتَقْتُكَ بَعْدَ مَوْتِيْ
Tadbir juga sah  dengan bentuk ungkapan kinayah yang disertai dengan niat seperti, “aku bebaskan jalanmu setelah aku meninggal dunia.”

وَيَصِحُّ التَّدْبِيْرُ بِالْكِنَايَةِ أَيْضًا مَعَ النِّيَّةِ كَخَلَّيْتُ سَبِيْلَكَ بَعْدَ مَوْتِيْ
Baginya, maksudnya bagi sang majikan diperkenankan menjual budak mudabbar saat ia masih hidup dan tadbirnya menjadi batal.

(وَيَجُوْزُ لَهُ) أَيِ السَّيِّدِ (أَنْ يَبِيْعَهُ) أَيِ الْمُدَبَّرَ (فِيْ حَالِ حَيَاتِهِ وَيَبْطُلُ تَدْبِيْرُهُ)
Dan baginya juga diperkenankan mentasharrufkan budak mudabbar tersebut dengan bentuk pentasharrufan yang bisa menghilangkan kepemilikan seperti hibbah setelah diterima dan menjadikannya sebagai mas kawin.

وَلَهُ أَيْضًا التَّصَرُّفُ فِيْهِ بِكُلِّ مَا يُزِيْلُ الْمِلْكَ كَهِبَّةٍ بَعْدَ قَبْضِهَا وَجَعْلِهِ صَدَاقًا
Mudabbar adalah menggantungkan kemerdekaan budak dengan sifat menurut pendapat al adhhar.
وَالتَّدْبِيْرُ تَعْلِيْقُ عِتْقٍ بِصِفَةٍ فِيْ الْأَظْهَرِ
Dan menurut satu pendapat adalah wasiat kepada si budak untuk merdeka.

وَفِيْ قَوْلٍ وَصِيَةٌ لِلْعَبْدِ بِعِتْقِهِ
Sehingga, menurut pendapat al adhhar, seandainya sang majikan menjual budak mudabbar, kemudian ia memilikinya lagi, maka status tadbir tidak kembali lagi menurut pendapat al madzhab.

فَعَلَى الْأَظْهَرِ لَوْ بَاعَهُ السَّيِّدُ ثُمَّ مَلَكَهُ لَمْ يَعُدِ التَّدْبِيْرُ عَلَى الْمَذْهَبِ
Budak mudabbar saat majikannya masih hidup hukumnya adalah budak murni.

(وَحُكْمُ الْمُدَبَّرِ فِيْ حَيَاةِ السَّيِّدِ حُكْمُ الْعَبْدِ الْقِنِّ) 
Kalau demikian, hasil dari pekerjaan budak mudabbar adalah milik sang majikan.
وَحِيْنَئِذٍ تَكُوْنُ أَكْسَابُ الْمُدَبَّرِ لِلسَّيِّدِ
Jika budak mudabbar itu dibunuh, maka majikan berhak menerima ganti rugi harganya.

وَإِنْ قُتِلَ الْمُدَبَّرُ فَلِلسَّيِّدِ الْقِيْمَةُ
Atau anggota budak mudabbar tersebut dipotong, maka majikan berhak mendapatkan ganti ruginya.
أَوْ قُطِعَ الْمُدَبَّرُ فَلِلسَّيِّدِ الْأُرْشُ
Dan status mudabbarnya tetap seperti semula.

وَيَبْقَى التَّدْبِيْرُ بِحَالِهِ
Dalam sebagian redaksi diungkapkan, “budak mudabbar saat majikannya masih hidup hukumnya adalah budak murni.”
وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَحُكْمُ الْمُدَبَّرِ فِيْ حَيَاةِ سَيِّدِهِ حُكْمُ الْعَبْدِ الْقِنِّ.

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Arti Kafir

BAB WALA’

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum wala’.

(فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ (الْوَلَاءِ)
Wala’ secara bahasa adalah lafadz yang dicetak dari lafadz “al muwalah (saling mengasihi).” Dan secara syara’ adalah waris ashabah sebab hilangnya kepemilikan dari seorang budak yang dimerdekakan.
وَهُوَ لُغَةً مُشْتَقٌّ مِنَ الْمُوَالَاةِ وَشَرْعًا عُصُوْبَةٌ سَبَبُهَا زَوَالُ الْمِلْكِ عَنْ رَقِيْقٍ مُعْتَقٍ
Wala’ dengan terbaca panjang adalah termasuk hak sebab memerdekakan.
(وَالْوَلَاءُ) بِالْمَدِّ (مِنْ حُقُوْقِ الْعِتْقِ

Hukum Wala’

Hukumnya, maksudnya hukum waris dengan wala’ adalah hukum waris ashabah ketika tidak ada waris ashabah dari jalur nasab. Mengenai makna dari waris ashabah sudah dijelaskan di dalam permasalahan “Faraidl.”

وَحُكْمُهُ) أَيْ حُكْمُ الْإِرْثِ بِالْوَلَاءِ (حُكْمُ التَّعْصِيْبِ عِنْدَ عَدَمِهِ) وَسَبَقَ مَعْنَى التَّعْصِيْبِ فِيْ الْفَرَائِضِ
Waris wala’ berpindah dari orang yang memerdekakan kepada orang-orang laki-laki yang mendapatkan waris ashabah dengan dirinya sendiri dari orang yang memerdekakan tersebut, tidak seperti anak perempuan dan saudara perempuan orang yang memerdekakan.

(وَيَنْتَقِلُ الْوَلَاءُ عَنِ الْمُعْتِقِ إِلَى الذُّكُوْرِ مِنْ عَصَبَتِهِ) الْمُتَعَصِّبِيْنَ بِأَنْفُسِهِمْ لاَ كَبِنْتِ الْمُعْتِقِ وَأُخْتِهِ
Urutan waris ashabah di dalam wala’ sama seperti urutan waris ashabah di dalam warisan.

(وَتَرْتِيْبُ الْعَصَبَاتِ فِيْ الْوَلَاءِ كَتَرْتِيْبِهِمْ فِيْ الْإِرْثِ)
Akan tetapi, menurut pendapat al adhhar, di dalam waris wala’, sesungguhnya saudara laki-laki dan anak laki-lakinya saudara laki-laki orang yang memerdekakan itu lebih didahulukan daripada kakek orang yang memerdekakan.
لَكِنِ الْأَظْهَرُ فِيْ بَابِ الْوَلَاءِ أَنَّ أَخَا الْمُعْتِقِ وَابْنَ أَخِيْهِ مُقَدَّمَانِ عَلَى جَدِّ الْمُعْتِقِ
Berbeda dengan yang ada di dalam warisan, maksudnya sebab nasab, maka sesungguhnya saudara laki-laki dan kakek itu bersekutu (tidak ada yang didahulukan).

بِخِلَافِ الْإِرْثِ أَيْ بِالنَّسَبِ فَإِنَّ الْأَخَّ وَالْجَدَّ شَرِيْكَانِ
Orang perempuan tidak bisa mendapatkan waris wala’ kecuali dari budak yang ia merdekakan sendiri atau dari anak-anak dan orang-orang yang dimerdekakan oleh budak yang ia merdekakan.
وَلَا تَرِثُ الْمَرْأَةُ بِالْوَلَاءِ إِلَّا مِنْ شَخْصٍ  بَاشَرَتْ عِتْقَهُ أَوْ مِنْ أَوْلَادِهِ وَعُتَقَائِهِ
Tidak boleh, maksudnya tidak sah menjual dan menghadiahkan wala’.
(وَلَا يَجُوْزُ) أَيْ لَا يَصِحُّ (بَيْعُ الْوَلَاءِ وَلَا هِبَّتُهُ)
Kalau demikian, waris wala’ tidak bisa berpindah dari orang yang menghakinya.
وَحِيْنَئِذٍ لَايَنْتَقِلُ الْوَلَاءُ عَنْ مُسْتَحِقِّهِ.

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Arti Kafir

KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM MEMERDEKAKAN

Al ‘itqu secara bahasa adalah diambil dari ungkapan orang arab, “anak burung bebas ketika terbang dan menyendiri.”

وَهُوَ لُغَةً مَأْخَوْذٌ مِنْ قَوْلِهِمْ عَتَقَ الْفَرَخُ إِذَا طَارَ وَاسْتَقَلَّ
Dan secara syara’ adalah menghilangkan kepemilikan dari anak Adam tidak untuk dimiliki lagi karena tujuan ibadah kepada Allah Swt.

وَشَرْعًا إِزَالَةُ مِلْكٍ عَنْ آدَمِيٍّ لَا إِلَى مِلْكٍ تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ تَعَالَى
Dikecualikan dari adan Adam yaitu burung dan binatang ternak, maka tidak sah  untuk dimerdekakan.

وَخَرَجَ بِآدَمِيٍّ الطَّيْرُ وَالْبَهِيْمَةُ فَلَا يَصِحُّ عِتْقُهُمَا
Hukumnya sah  memerdekakan budak yang dilakukan oleh setiap pemilik yang legal perintahnya. Dalam sebagian redaksi, “yang legal tasyarufnya” pada kepemilikannya.

(وَيَصِحُّ الْعِتْقُ مِنْ كُلِّ مَالِكٍ جَائِزِ الْأَمْرِ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ جَائِزُ التَّصَرُّفِ (فِيْ مِلْكِهِ)
Sehingga tidak sah  memerdekakan budak yang dilakukan oleh orang yang tidak legal tasyarufnya seperti anak kecil, orang gila dan orang safih.

فَلَايَصِحُّ عِتْقُ غَيْرِ جَائِزِ التَّصَرُّفِ كَصَبِيٍّ وَمَجْنُوْنٍ وَسَفِيْهٍ
Ungkapan mushannif, “memerdekakan bisa terjadi dengan ungkapan memerdekakan yang sharih”, memang begitulah ungkapan di dalam sebagian redaksi.
وَقَوْلُهُ (وَيَقَعُ بِصَرِيْحِ الْعِتْقِ) كَذَلِكَ فِيْ بَعْضِ النُّسَخِ
Dan dalam sebagian redaksi lagi dengan ungkapan, “wayaqa’u bi sharihil ‘itq (dan memerdekakan bisa hasil dengan ungkapan memerdekakan yang sharih).”

وَفِيْ بَعْضِهَا وَيَقَعُ بِصَرِيْحِ الْعِتْقِ
Ketahuilah sesungguhnya ungkapan memerdekakan yang sharih adalah lafadz “al i’taq (memerdekakan)” dan “at tahrir (memerdekakan)”, dan lafadz-lafadz yang ditasrif dari keduanya seperti “engkau adalah ‘atiq (orang yang dimerdekakan)” atau “engkau adalah muharrar (yang dimerdekakan).”

وَاعْلَمْ أَنَّ صَرِيْحَهُ الْإِعْتَاقُ وَالتَّحْرِيْرُ وَمَا تَصَرَّفَ مِنْهُمَا كَأَنْتَ عَتِيْقٌ أَوْ مُحَرَّرٌ
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang yang bergurau ataupun tidak.

وَلَا فَرْقَ فِيْ هَذَا بَيْنَ هَازِلٍ وَغَيْرِهِ
Di antara ungkapan yang sharih menurut pendapat al ashah adalah “fakk ar raqabah (membebaskan badan).”

وَمِنْ صَرِيْحِهِ فِيْ الْأَصَحِّ فَكُّ الرَّقَبَةِ
Kalimat yang sharih tidak butuh pada niat.

وَلَا يَحْتَاجُ الصَّرِيْحُ إِلَى نِيَّةٍ
Memerdekakan juga bisa terjadi dengan selain kalimat yang  sharih sebagaimana yang disampaikan mushannif, “-dan bisa hasil- dengan kalimat kinayah yang disertai dengan niat.”

وَيَقَعُ الْعِتْقُ أَيْضًا بِغَيْرِ الصَّرِيْحِ كَمَا قَالَ (وَالْكِنَايَةِ مَعَ النِّيَّةِ)
Seperti majikan berkata pada budaknya, “aku tidak punya hak milik atas dirimu”, “tidak ada kekuasaan bagiku atas dirimu” dan kalimat-kalimat sesamanya.
كَقَوْلِ السَّيِّدِ لِعَبْدِهِ لَا مِلْكَ لِيْ عَلَيْكَ لَاسُلْطَانَ لِيْ عَلَيْكَ وَنَحْوِ ذَلِكَ.

Kosekwensi ‘Itqu

Ketika orang yang legal tasharrufnya memerdekakan sebagian dari budak semisal, maka seluruh bagian budak tersebut menjadi merdeka atas orang itu.

(وَإِذَا أَعْتَقَ) جَائِزُ التَّصَرُّفِ (بَعْضَ عَبْدٍ) مَثَلًا (عَتَقَ عَلَيْهِ جَمِيْعُهُ)
Baik sang majikan kaya ataupun tidak, sebagian budak yang dimerdekakan tersebut ditentukan ataupun tidak.
مُوْسِرًا كَانَ السَّيِّدُ أَوْ لَا مُعَيَّنًا كَانَ ذَلِكَ الْبَعْضُ أَوْ لاَ
Jika seseorang memerdekakan, dalam sebagian redaksi dengan bahasa “’ataqa (memerdekakan)” bagiannya pada seorang budak semisal, atau memerdekakan seluruh bagian budak dan ia mampu membayar bagian budak yang tidak ia miliki, maka hukum merdeka berdampak juga pada bagian si budak yang tidak ia miliki.
(وَإِنْ أَعْتَقَ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ عَتَقَ (شِرْكًا) أَيْ نَصِيْبًا (لَهُ فِيْ عَبْدٍ) مَثَلًا أَوْ أَعْتَقَ جَمِيْعَهُ (وَهُوَ مُوْسِرٌ) بِبَاقِيْهِ (سَرَى الْعِتْقُ إِلَى بَاقِيْهِ) أَيِ الْعَبْدِ
Atau berdampak pada bagian budak yang dimiliki oleh sekutunya yang mampu ia bayar menurut pendapat ash shahih.

أَوْ سَرَى إِلَى مَا أَيْسَرَ بِهِ مِنْ نَصِيْبِ شَرِيْكِهِ عَلَى الصَّحِيْحِ
Dan dampak merdeka tersebut langsung seketika menurut pendapat al adhhar.

وَتَقَعُ السِّرَايَةُ فِيْ الْحَالِ عَلَى الْأَظْهَرِ
Menurut satu pendapat, dampak merdeka tersebut terjadi dengan membayar harganya.
وَفِيْ قَوْلٍ بِأَدَاءِ الْقِيْمَةِ
Yang dikehendaki dengan al musir di sini bukanlah orang yang kaya.
وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِالْمُوْسِرِ هُنَّا هُوَ الْغَنِيُّ
Akan tetapi, dia adalah orang yang memiliki harta yang bisa melunasi harga bagian yang dimiliki oleh sekutunya saat memerdekakan yang mana harta tersebut sudah melebihi dari makanan pokok orang tersebut, makanan pokok orang yang wajib dinafkahi pada siang dan malam hari itu, sudah melebihi dari pakaian yang layak dan dari tempat tinggal di hari itu.
بَلْ مَنْ لَهُ مِنَ الْمَالِ وَقْتَ الْإِعْتَاقِ مَا يَفِيْ بِقِيْمَةِ نَصِيْبِ شَرِيْكِهِ فَاضِلًا عَنْ قُوْتِهِ وَقُوْتِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ فِيْ يَوْمِهِ وَلَيْلَتِهِ وَعَنْ دُسْتِ ثَوْبٍ يَلِيْقُ بِهِ وَعَنْ سُكْنَى يَوْمِهِ
Bagi yang merdekakan harus membayar harga bagian budak yang dimiliki oleh sekutunya di hari memerdekakan tersebut.

(وَكَانَ عَلَيْهِ) أَيِ الْمُعْتِقِ (قِيْمَةُ نَصِيْبِ شَرِيْكِهِ) يَوْمَ إِعْتَاقِهِ
Orang yang memiliki salah satu dari orang tua atau anak-anaknya, maka orang yang dimiliki itu hukumnya merdeka atas orang tersebut setelah ia memilikinya.

(وَمَنْ مَلِكَ وَاحِدًا مِنْ وَالِدِيْهِ أَوْ) مِنْ (مَوْلُوْدِيْهِ عَتَقَ عَلَيْهِ) بَعْدَ مِلْكِهِ
Baik sang pemilik adalah ahli tabaru’ ataupun tidak seperti anak kecil dan orang gila.
سَوَاءٌ كَانَ الْمَالِكُ مِنْ أَهْلِ التَّبَرُّعِ أَوْ لَا كَصَبِيٍّ وَمَجْنُوْنٍ

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Arti Kafir