BAB DHIHAR

(Fasal) di dalam menjelaskan hukum-hukum dhihar.
(فَصْلٌ) فِيْ بَيَانِ أَحْكَامِ الظِّهَارِ
Dhihar secara bahasa diambil dari kata “adh dhahru” (punggung). Dan secara syara’ adalah perkataan suami yang menyerupakan istrinya yang tidak tertalak ba’in dengan wanita yang tidak halal dinikahi oleh sang suami tersebut.
وَهُوَ لُغَةً مَأْخُوْذٌ مِنَ الظَّهْرِ وَشَرْعًا تَشْبِيْهُ الزَّوْجِ زَوْجَتَهُ غَيْرَ الْبَائِنِ بِأُنْثًى لَمْ تَكُنْ حِلاًّ لَهُ

Praktek Dhihar

Dhihar adalah ucapan seorang laki-laki pada istrinya, “engkau bagiku seperti punggung ibuku.
(وَالظِّهَارُ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِزَوْجَتِهِ أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ اُمِّيْ)
Ungkapan dhihar tertentu pada kata “adh dhahru (punggung)” bukan perut semisal, karena sesungguhkan  punggung adalah tempat menunggang dan istri adalah tunggangan sang suami.
وَخُصَّ الظَّهْرُ دُوْنَ الْبَطْنِ مَثَلًا لِأَنَّ الظَّهْرَ مَوْضِعُ الرُّكُوْبِ وَالزَّوْجَةُ مَرْكُوْبُ الزَّوْجِ

Konsekwensi Dhihar

Ketika sang suami mengatakan hal itu pada istrinya, maksudnya kata “engkau bagiku seperti punggung ibuku”, dan ia tidak melanjutkan langsung dengan talak, maka ia dianggap kembali pada sang istri. Dan kalau demikian, maka wajib membayar kafarat.

(فَإِذَا قَالَ لَهَا ذَلِكَ) أَيْ أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّيْ (وَلَمْ يُتْبِعْهُ بِالطَّلَاقِ صَارَ عَائِدًا) مِنْ زَوْجَتِهِ (وَلَزِمَتْهُ) حِيْنَئِذٍ (الْكَفَارَةُ)
Kafarat tersebut bertahap. Mushannif menyebutkan penjelasan tentang tahapan pelaksanaan kafarat tersebut di dalam perkataan beliau,
وَهِيَ مُرَتَّبَةٌ وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ بَيَانَ تَرْتِيْبِهَا فِيْ قَوْلِهِ

Kafarat Dhihar

Kafarat dhihar adalah memerdekakan budak mukmin yang beragama islam walaupun sebab islamnya salah satu dari kedua orang tuanya, yang selamat / bebas dari aib yang bisa mengganggu / membahayakan pekerjaan dengan gangguan yang begitu jelas.

(وَالْكَفَارَةُ عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ) مُسْلِمَةٍ وَلَوْ بِإِسْلَامِ أَحَدِ أَبَوَيْهَا (سَلِيْمَةٍ مِنَ الْعُيُوْبِ الْمُضِرَّةِ بِالْعَمَلِ وَالْكَسْبِ) ضِرَارًا بَيِّنًا .
Kemudian, jika orang yang melakukan dhihar tidak menemukan budak yang telah disebutkan, dengan gambaran ia tidak mampu mendapatkan budak secara kasat mata atau secara tinjauan syara’, maka wajib melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut.

(فَإِنْ لَمْ يَجِدْ) الْمُظَاهِرُ الرَّقَبَةَ الْمَذْكُوْرَةَ بِأَنْ عَجَزَ عَنْهَا حِسًّا أَوْ شَرْعًا (فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ)
Yang dibuat acuan menghitung dua bulan tersebut adalah hitungan tanggal, walaupun masing-masing kurang dari tiga puluh hari.

وَيُعْتَبَرُ الشَّهْرَانِ بِالْهِلَالِ وَلَوْ نَقَصَ كُلٌّ مِنْهُمَا عَنْ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا
Puasa dua bulan tersebut disertai dengan niat kafarat di malam hari.
وَيَكُوْنُ صَوْمُهُمَا بِنِيَّةِ الْكَفَارَةِ مِنَ اللَّيْلِ

Tidak disyaratkan niat tatabu’ (berturut-turut) menurut pendapat al ashah.

وَلَا يُشْتَرَطُ نِيَّةُ تَتَابُعٍ فِيْ الْأَصَحِّ
Kemudian, jika orang yang melakukan sumpah dhihar tidak mampu berpuasa dua bulan atau tidak mampu melaksanakannya secara terus menerus / berturut-turut, maka wajib memberi makan enam puluh orang miskin atau orang faqir.

(فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ) الْمُظَاهِرُ صَوْمَ الشَّهْرَيْنِ أَوْ لَمْ يَسْتَطِعْ تَتَابُعَهُمَا (فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا) أَوْ فَقِيْرًا
Setiap orang miskin atau faqir mendapatkan satu mud dari jenis biji-bijian yang dikeluarkan di dalam zakat fitri.

(كُلُّ مِسْكِيْنٍ) أَوْ فَقِيْرٍ (مُدٌّ) مِنْ جِنْسِ الْحَبِّ الْمُخْرَجِ فِيْ زكَاَةِ الْفِطْرِ
Kalau demikian, maka jenis biji-bijian tersebut diambilkan dari makanan pokok negara orang yang membayar kafarat seperti gandum putih dan gandum merah, tidak berupa tepung dan sawiq  (sagu).

وَحِيْنَئِذٍ فَيَكُوْنُ مِنْ غَالِبِ قُوْتِ بَلَدِ الْمُكَفِّرِ كَبُرٍّ وَشَعِيْرٍ لَا دَقِيْقٍ وَ سَوِيْقٍ
Ketika orang yang wajib membayar kafarat tidak mampu melaksanakan ketiga-tiganya, maka kewajiban kafarat masih menjadi tanggungannya.

وَإِذَا عَجَزَ الْمُكَفِّرُ عَنِ الْخِصَالِ الثَّلَاثِ اسْتَقَرَّتِ الْكَفَارَةُ فِيْ ذِمَّتِهِ
Sehingga, ketika setelah itu ia mampu melaksanakan salah satunya, maka wajib ia laksanakan.

فَإِذَا قَدَرَ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى خَصْلَةٍ فَعَلَهَا
Seandainya ia hanya mampu melaksanakan sebagian dari salah satu kafarat seperti hanya mampu memberikan satu mud atau setengah mud saja, maka wajib ia keluarkan.

وَلَوْ قَدَرَ عَلَى بَعْضِهَا  كَمُدِّ طَعَامٍ أَوْ بَعْضِ مُدٍّ أَخْرَجَهُ
Bagi laki-laki yang melakukan dhihar maka tidak diperkenankan mewathi istrinya yang telah ia dhihar, hingga ia melaksanakan kafarat yang telah disebutkan.
(وَلَا يَحِلُّ لِلْمُظَاهِرِ وَطْؤُهَا) أَيْ زَوْجَتِهِ الَّتِيْ ظَاهَرَ مِنْهَا (حَتَّى يُكَفِّرَ) بِالْكَفَارَةِ الْمَذْكُوْرَةِ


(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Asal Mula Kehidupan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar