KITAB FARAIDL DAN WASIAT

Lafadz “al fara’id” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafardz “faridlah” dengan menggunakan makna faladz “mafrudlah” yang diambil dari bentuk kalimat masdar “al fardl” dengan menggunakan makna bagian pasti.
وَالْفَرَائِضُ جَمْعُ فَرِيْضَة ٍبِمَعْنَى مَفْرُوْضَةٍ مِنَ الْفَرْضِ بِمَعْنَى التَّقْدِيْرِ
Al faridlah secara syara’ adalah nama bagian pasti bagi orang yang menghakinya.

وَالْفَرِيْضَةُ شَرْعًا اسْمُ نَصِيْبٍ مُقَدَّرٍ لِمُسْتَحِقِّهِ
Lafadz “al washaya” adalah bentuk kalimat jama’ lafadz “washiyyah” dari kata-kata “aku menyambung sesuatu dengan sesuatu yang lain ketika aku menyambungnya dengan sesuatu yang lain tersebut”.

وَالْوَصَايَا جَمْعُ وَصِيَّةٍ مِنْ وَصَّيْتُ الشَّيْئَ بِالشَّيْئِ إِذَا وَصَلْتُهُ بِهِ
Wasiat secara syara’ adalah bersedekah sunnah dengan suatu hak yang disandarkan pada masa setelah meninggal dunia.
وَالْوَصِيَّةُ شَرْعًا تَبَرُّعٌ بِحَقٍّ مُضَافٌ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ. 


Golongan Ahli Waris Laki-Laki

Golongan ahli waris dari pihak laki-laki yang disepati berhak menerima warisan ada sepuluh orang secara ringkas, dan lima belas orang secara terperinci.
(وَالْوَارِثُوْنَ مِنَ الرِّجَالِ) الْمُجْمَعِ عَلَى إِرْثِهِمْ (عَشْرَةٌ) بِالْاِخْتِصَارِ وَبِالْبَسْطِ خَمْسَةَ عَشَرَ
Mushannif menyebutkan sepuluh orang tersebut dengan perkataan beliau, “yaitu anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki terus hingga ke bawah, ayah, kakek hingga terus ke atas, saudara laki-laki, putra dari saudara laki-laki walaupun agak jauh, paman dari ayah, putra paman dari ayah walaupun jarak keduanya jauh, suami, dan majikan yang telah memerdekakan.

وَعَدَّ الْمُصَنِّفُ الْعَشْرَةَ بِقَوْلِهِ (الاِبْنُ وَابْنُ الْاِبْنِ وَإِنْ سَفُلَ وَالْأَبُّ وَالْجَدُّ وَإِنْ عَلَا وَالْأَخُ وَابْنُ الْلأَخِ وَإِنْ تَرَاخَى وَالْعَمُّ وَابْنُ الْعَمِّ وَإِنْ تَبَاعَدَا وَالزَّوْجُ وَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ)
Seandainya semua golongan laki-laki ini berkumpul, maka yang mendapatkan warisan dari mereka hanya tiga orang, yaitu ayah, anak laki-laki dan suami.

وَلَوِ اجْتَمَعَ  كُلُّ الرِّجَالِ وَرَثَ مِنْهُمْ ثَلَاثَةٌ الْأَبُّ وَالْاِبْنُ وَالزَّوْجُ فَقَطْ
Mayat dalam kasus ini tidak lain adalah mayat perempuan.
وَلَا يَكُوْنُ الْمَيِّتُ فِيْ هَذِهِ الصُّوْرَةِ إِلَّا امْرَأَةً.

Golongan Ahli Waris Perempuan

Golongan ahli waris dari pihak perempuan yang disepakati berhak mendapat warisan ada tujuh orang secara ringkas, dan sepuluh orang secara terperinci.

(وَالْوَارِثَاتُ مِنَ النِّسَاءِ) الْمُجْمَعِ عَلَى إِرْثِهِنَّ (سَبْعٌ) بِالْاِخْتِصَارِ وَبِالْبَسْطِ عَشْرَةٌ
Mushannif menyebutkan ketujuh golongan tersebut di dalam perkataan beliau, “yaitu anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki walaupun hingga ke bawah, ibu, nenek walaupun hingga ke atas, saudara perempuan, istri, dan majikan perempuan yang memerdekan” hingga akhir penjelasan beliau.

وَعَدَّ الْمُصَنِّفُ السَّبْعَ فِيْ قَوْلِهِ (الْبِنْتُ وَبِنْتُ الْاِبْنِ) وَإِنْ سَفُلَتْ (وَالْأُمُّ وَالْجَدَّةُ) وَإِنْ عَلَتْ (وَالْأُخْتُ وَالزَّوْجَةُ وَالْمَوْلَاةُ الْمُعْتِقَةُ) الخ
Seandainya seluruh golongan perempuan saja yang berkumpul, maka yang mendapat warisan dari mereka hanya lima orang, yaitu anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, istri dan saudara perempuan seibu sebapak.

وَلَوِ اجْتَمَعَ كُلُّ النِّسَاءِ فَقَطْ وَرَثَ مِنْهُنَّ خَمْسٌ الْبِنْتُ وَبِنْتُ الْاِبْنِ وَالْأُمُّ وَالزَّوْجَةُ وَالْأُخْتُ الشَّقِيْقَةُ
Mayat dalam bentuk ini tidak lain kecuali berupa mayat laki-laki.
وَلَا يَكُوْنُ الْمَيِّتُ فِيْ هَذِهِ الصُّوْرَةِ إِلَّا رَجُلًا
Orang Yang Pasti Mendapatkan Warisan

Golongan ahli waris yang tidak akan pernah gugur dalam berbagai keadaan ada lima orang, yaitu zaujain maksudnya suami dan istri, abawain maksudnya ayah dan ibu, dan putra kandung, baik laki-laki atau perempuan.
(وَمَنْ لَا يَسْقُطُ) مِنَ الْوَرَثَةِ (بِحَالٍ خَمْسَةٌ الزَّوْجَانِ) أَيِ الزَّوْجُ وَالزَّوْجَةُ (وَالْأَبَوَانِ) أَيِ الْأَبُّ وَالْأُمُّ (وَوَلَدُ الصُّلْبِ) ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى.
Yang Tidak Bisa Mewaris

Orang yang sama sekali tidak bisa mendapat warisan dalam berbagai keadaan ada tujuh, yaitu budak laki-laki dan perempuan.

(وَمَنْ لَا يَرِثُ بِحَالٍ سَبْعَةٌ الْعَبْدُ) وَالْأَمَّةُ
Seandainya mushannif menggungkapkan dengan bahasa “raqiq”, niscaya akan lebih baik.

وَلَوْ عَبَّرَ بِالرَّقِيْقِ لَكَانَ أَوْلَى
Selanjutnya budak mudabbar, ummul walad, dan budak mukatab.

(وَالْمُدَبَّرُ وَأُمُّ الْوَلَدِ وَالْمُكَاتَبُ)
Adapun budak yang sebagiannya distatuskan merdeka, ketika meninggal dunia dan meninggalkan harta yang ia miliki dengan status merdeka pada sebagian dari dirinya, maka ia akan diwaris oleh kerabatnya yang merdeka, istrinya dan orang yang memerdekakan sebagian dirinya.

وَأَمَّا الَّذِيْ بَعْضُهُ حُرٌّ إِذَا مَاتَ عَنْ مَالٍ مَلَكَهُ بِبَعْضِهِ الْحُرِّ وَرَثَهُ قَرِيْبُهُ الْحُرُّ وَزَوْجَتُهُ وَمُعْتِقُ بَعْضِهِ
Dan orang yang membunuh. Seorang pembunuh tidak bisa mewaris orang yang ia bunuh, baik pembunuhan yang ia lakukan mendapatkan denda ataupun tidak.

(وَالْقَاتِلُ) لَا يَرِثُ مِمَنْ قَتَلَهُ سَوَاءٌ كَانَ قَتْلُهُ مَضْمُوْنًا أَمْ لَا
Dan orang murtad. Seperti orang murtad adalah orang kafir zindiq. Kafir zindiq adalah orang yang menyebunyikan kekafirannya dan memperlihatkan keislamannya.

(وَالْمُرْتَدُ) وَمِثْلُهُ الْزِنْدِيْقُ وَهُوَ مَنْ يُخْفِيْ الْكُفْرَ وَيُظْهِرُ الْإِسْلَامَ
Dan penganut dua agama yang berbeda. Sehingga orang muslim tidak bisa mewaris orang kafir, dan juga tidak bisa sebaliknya.

(وَأَهْلُ مِلَّتَيْنِ) فَلَا يَرِثُ مُسْلِمٌ مِنْ كَافِرٍ وَلَا عَكْسُهُ
Orang kafir bisa mendapat warisan dari orang kafir yang lain walaupun agama keduanya berbeda seperti orang yahudi dan orang nashrani.

وَيَرِثُ الْكَافِرُ مِنَ الْكَافِرِ وَإِنِ اخْتَلَفَتْ مِلَّتُهُمَا كَيَهُوْدِي وَنَصْرَانِي
Orang kafir harbi tidak bisa mewaris orang kafir dzimmi, dan tidak juga sebaliknya.

وَلَا يَرِثُ حَرْبِيٌّ مِنْ ذِمِيٍّ وَعَكْسُهُ
Orang murtad tidak bisa mewaris orang murtad yang lain, tidak dari orang muslim dan tidak dari orang kafir.
وَالْمُرْتَدُّ لَا يَرِثُ مِنْ مُرْتَدٍّ وَلَا مِنْ مُسْلِمٍ وَلَا مِنْ كَافِرٍ.

Waris Ashabah

Dan golongan waris ashabah yang terdekat. Dalam sebagian redaksi menggunakan kalimat mufrad “al ashabah”.

(وَأَقْرَبُ الْعَصَبَاتِ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَالْعَصَبَةُ
Yang dikehendaki dengan golongan waris ashabah adalah orang yang ketika dalam keadaan diashabahkan tidak memiliki bagian pasti, yaitu dari orang-orang yang disepakati berhak mendapat warisan dan telah dijelaskan di depan.

وَأُرِيْدَ بِهَا مَنْ لَيْسَ لَهُ حَالَ تَعْصِيْبِهِ سَهْمٌ مُقَدَّرٌ مِنَ الْمُجْمَعِ عَلَى تَوْرِيْثِهِمْ وَسَبَقَ بَيَانُهُمْ
Yang dipertimbangkan adalah bagian ketika dalam keadaan ashabah agar memasukkan ayah dan kakek. Karena sesungguhnya masing-masing dari keduanya memiliki bagian pasti di selain keadaan ashabah.

وَإِنَّمَا اعْتُبِرَ السَّهْمُ حَالَ التَّعْصِيْبِ لِيَدْخُلَ الْأَبُّ وَالْجَدُّ فَإِنَّ لِكُلٍّ مِنْهُمَا سَهْمًا مُقَدَّرًا فِيْ غَيْرِ التَّعْصِيْبِ
Kemudian mushannif menghitung / menampilkan urutan terdekat di dalam perkataan beliau, “yaitu anak laki-laki, lalu cucu laki-laki dari anak laki-laki, kemudian ayah, ayahnya ayah, saudara laki-laki kandung seayah dan seibu, saudara laki-laki seayah, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu, kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah”, hingga akhir penjelasannya.

ثُمَّ عَدَّ الْمُصَنِّفُ الْأَقْرَبِيَّةَ فِيْ قَوْلِهِ (الْاِبْنُ ثُمُّ ابْنُهُ ثُمَّ الْأَبُّ ثُمَّ أَبُوْهُ ثُمَّ الْأَخُّ لِلْأَبِّ وَلِلْأُمِّ ثُمَّ الْأَخُّ لِلْأَبِّ ثُمَّ ابْنُ الْأَخِ لِلْأَبِّ وَلِأُمٍّ ثُمَّ ابْنُ الْأَخِّ لِلْأَبِّ) الخ
Perkataan mushannif, “kemudian paman dari ayah sesuai dengan urutan ini, lalu anak laki-lakinya” maksudnya, kemudian didahulukan paman dari ayah yang seayah seibu, lalu paman dari ayah yang seayah, anak-anak laki-lakinya paman dari ayah sesuai dengan urutan di atas, lalu didahulukan pamannya ayah dari jalurnya kakek yang seayah seibu dengan ayah, kemudian yang seayah, lalu anak-anak laki-laki keduanya sesuai dengan urutan di atas, kemudian didahulukan pamannya kakek dari jalur ayahnya kakek yang seayah seibu, lalu yang seayah dan begitu seterusnya.

وَقَوْلُهُ. (ثُمَّ الْعَمُّ عَلَى هَذَا التَّرْتِيْبِ ثُمَّ ابْنُهُ) أَيْ فَيُقَدَّمُ الْعَمُّ لِلْأَبَوَيْنِ ثُمَّ لِلْأَبِّ ثُمَّ بَنُوْ الْعَمِّ كَذَلِكَ ثُمَّ يُقَدَّمُ عَمُّ الْأَبِّ مِنَ الْأَبَوَيْنِ ثُمَّ مِنَ الْأَبِّ ثُمَّ بَنُوْهُمَا كَذَلِكَ ثُمَّ يُقَدَّمُ عَمُّ الْجَدِّ مِنَ الْأَبَوَيْنِ ثُمَّ مِنَ الْأَبِّ وَهَكَذَا 
Ketika golongan ahli waris ashabah dari jalur nasab tidak ada, sedangkan mayatnya adalah budak yang telah dimerdekakan, maka majikan yang telah memerdekakannya mendapat warisan dari dia dengan waris ashabah, baik majikan yang memerdekakan tersebut laki-laki atau perempuan.

(فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ) مِنَ النَّسَبِ وَالْمَيِّتُ عَتِيْقٌ (فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ) يَرِثُهُ بِالْعُصُوْبَةِ ذَكَرًا كَانَ الْمُعْتِقُ أَوْ أُنْثَى
Jika tidak ditemukan ahli waris ashabah si mayat dari jalur nasab dan sebab wala’, maka harta tinggalan si mayit menjadi milik baitul mal.
فَإِنْ لَمْ يُوْجَدْ لِلْمَيِّتِ عَصَبَةٌ بِالنَّسَبِ وَلَا عَصَبَةٌ بِالْوَلَاءِ فَمَالُهُ لِبَيْتِ الْمَالِ.

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Takdir


Tidak ada komentar:

Posting Komentar