BAB WADI’AH (BARANG TITIPAN)

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum wadi’ah.

(فَصْلٌ فِيْ أَحْكَامِ الْوَدِيْعَةِ
Lafadz wadi’ah yang mengikut pada wazan “fa’ilatun” diambil dari fi’il madli “wadda’a” (orang meninggalkan) ketika ia meninggalkannya.

هِيَ فَعِيْلَةٌ مِنْ وَدَّعَ إِذَا تَرَكَ
Secara bahasa, wadi’ah diungkapkan pada sesuatu yang dititipkan pada selain pemiliknya untuk dijaga.

وَتُطْلَقُ لُغَةً عَلَى الشَّيْئِ الْمَوْدُوْعِ عِنْدَ غَيْرِ صَاحِبِهِ لِلْحِفْظِ
Dan secara syara’ diungkapkan pada akad yang menetapkan penjagaan.

وَتُطْلَقُ شَرْعًا عَلَى الْعَقْدِ الْمُقْتَضِيْ لِلْاِسْتِحْفَاظِ



Hukum Wadi’ah

Wadi’ah adalah amanah yang berada di tangan wadi’ (orang yang dititipi).

(وَالْوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ) فِيْ يَدِّ الْوَدِيْعِ
Disunnahkan untuk menerima titipan bagi orang yang mampu melaksanakan amanah pada titipan tersebut, jika memang di sana masih ada orang yang lain.

(وَيُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهُا لِمَنْ قَامَ بِالْأَمَانَةِ فِيْهَا) إِنْ كَانَ ثَمَّ غَيْرُهُ
Jika tidak ada, maka wajib untuk menerimanya sebagaimana yang dimutlakkan oleh segolongan ulama’.

وَإِلَّا وَجَبَ قَبُوْلُهَا كَمَا أَطْلَقَهُ جَمْعٌ
Imam an Nawawi berkata di dalam kitab ar Raudlah dan kitab asalnya, hukum ini diarahkan untuk penerimaannya saja bukan masalah menggunakan kemanfaatan dan tempat penjagaannya secara gratis.
قَالَ فِيْ الرَّوْضَةِ كَأَصْلِهَا وَهَذَا مَحْمُوْلٌ عَلَى أَصْلِ الْقَبُوْلِ دُوْنَ إِتْلَافِ مَنْفَعَتِهِ وَحِرْزِهِ مَجَانًا

Konsekwensi Titipan

Wadi’ tidak wajib mengganti barang titipan kecuali ia berbuat ceroboh pada barang titipan tersebut.

(وَلَا يَضْمَنُ) الْوَدِيْعُ الْوَدِيْعَةَ (إِلَّا بِالتَّعَدِّيْ) فِيْهَا
Bentuk-bentuk kecerobohan itu banyak dan disebutkan di dalam kitab-kitab yang panjang penjelasannya.

وَصُوَرُ التَّعَدِّيْ كَثِيْرَةٌ مَذْكُوْرَةٌ فِيْ الْمُطَوَّلَاتِ
Di antaranya adalah ia menitipkan barang titipan tersebut pada orang lain tanpa seizin pemilik dan tidak ada udzur padanya.

مِنْهَا أَنْ يُوْدِعَ الْوَدِيْعَةَ عِنْدَ غَيْرِهِ بِلَا إِذْنٍ مِنَ الْمَالِكِ وَلَا عُذْرَ مِنَ الْوَدِيْعِ
Di antaranya adalah ia memindah barang titipan dari satu perkampungan atau satu rumah ke tempat lain yang ukuran keamaannya di bawah tempat yang pertama.

وَمِنْهَا أَنْ يَنْقُلَهَا مِنْ مَحِلَّةٍ أَوْ دَارٍ إِلَى أُخْرَى دُوْنَهَا فِي الْحِرْزِ.
Ucapan al muda’ (orang yang dititipi), dengan membaca fathah pada huruf dalnya, diterima dalam hal mengembalikannya pada al mudi’ (orang yang menitipkan), dengan dibaca kasrah huruf dalnya.

(وَقَوْلُ الْمُوْدَعِ) بِفَتْحِ الدَّالِ (مَقْبُوْلٌ فِيْ رَدِّهَا عَلَى الْمُوْدِعِ) بِكَسْرِ الدَّالِ
Bagi wadi’ harus menjaga barang titipan di tempat penjagaan barang sesamanya.

(وَعَلَيْهِ) أَيِ الْوَدِيْعِ (أَنْ يَحْفَظَهَا فِيْ حِرْزِ مِثْلِهَا)
Jika tidak dilakukan, maka ia memiliki beban menggantinya.

فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ضَمِنَ
Ketika wadi’ diminta untuk mengembalikan barang titipan, namun ia tidak memberikannya padahal mampu ia lakukan, hingga barang tersebut rusak, maka ia wajib menggantinya.

(وَإِذَا طُوْلِبَ) الْوَدِيْعُ (بِهَا) أَيْ بِالْوَدِيْعَةِ (فَلَمْ يُخْرِجْهَا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ)
Sehingga, jika ia menundah untuk mengembalikan sebab ada udzur, maka ia tidak wajib menggantinya.
فَإِنْ أَخَّرَ إِخْرَاجَهَا بِعُذْرٍ لَمْ يَضْمَنْ.

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Takdir


Tidak ada komentar:

Posting Komentar