SYARAT-SYARAT NIKAH

(Fasal) menjelaskan hal-hal yang mana akad nikah tidak bisa sah kecuali dengan hal-hal tersebut.

(فَصْلٌ) فِيْمَا لَا يَصِحُّ النِّكَاحُ إِلَّا بِهِ
Akad nikah hukumnya tidak sah kecuali disertai dengan wali yang adil.

(وَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ) عَدْلٍ
Dalam sebagian redaksi dengan bahasa, “dengan seorang wali laki-laki.”

وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ بِوَلِيٍّ ذَكَرٍ
Hal ini mengecualikan seorang wanita. Karena sesungguhnya seorang wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri atau orang lain.

وَهُوَ احْتِرَازٌ عَنِ الْأُنْثَى فَإِنَّهَا لَا تُزَوِّجُ نَفْسَهَا وَلَا غَيْرَهَا
Akad nikah juga tidak bisa sah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang adil.
(وَ) لَايَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ أَيْضًا إِلَّا بِحُضُوْرِ (شَاهِدَيْ عَدْلٍ)

Syarat Wali dan Saksi

Mushannif menjelaskan syarat masing-masing dari wali dan dua saksi di dalam perkataan beliau,
وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ شَرْطَ كُلٍّ مِنَ الْوَلِيِّ وَشَاهِدَيْنِ فِيْ قَوْلِهِ:
Seorang wali dan dua orang saksi membutuhkan enam syarat :
(وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَشَاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شَرَائِطَ)
Yang pertama adalah islam. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh orang kafir, kecuali permasalahan yang dikecualikan oleh mushannif setelah ini.

الْأَوَّلُ (الْإِسْلَامُ) فَلَا يَكُوْنُ وَلِيُّ الْمَرْأَةِ كَافِرًا إِلَّا فِيْمَا يَسْتَثْنِيْهِ الْمُصَنِّفُ بَعْدُ
Yang kedua adalah baligh. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh anak kecil.

(وَ) الثَّانِيْ (الْبُلُوْغُ) فَلَا يَكُوْنُ وَلِيُّ الْمَرْأَةِ صَغِيْرًا
Yang ketiga adalah berakal. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh orang gila, baik gilanya terus menerus atau terputus-putus.

(وَ) الثَّالِثُ (الْعَقْلُ) فَلَا يَكُوْنُ وَلِيُّ الْمَرْأَةِ مَجْنُوْنًا سَوَاءٌ أَطْبَقَ جُنُوْنُهُ أَوْ تَقَطَّعَ
Yang ke empat adalah merdeka. Sehingga seorang wali tidak boleh berupa budak di dalam ijab (serah) nikah.

(وَ) الرَّابِعُ (الْحُرِّيَةُ) فَلَا يَكُوْنُ الْوَلِيُّ عَبْدًا فِيْ إِيْجَابِ النِّكَاحِ
Seorang budak diperkenankan menjadi orang yang qabul (terima) di dalam akad nikah.

وَيَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ قَابِلًا فِيْ النِّكَاحِ
Yang ke lima adalah laki-laki. Sehingga seorang wanita dan khuntsa tidak bisa menjadi wali nikah.

(وَ) الْخَامِسُ (الذُّكُوْرَةُ) فَلَا تَكُوْنَ الْمَرْأَةُ وَالْخُنْثَى وَلِيَّيْنِ.
Yang ke enam adalah adil. Sehingga seorang wali tidak boleh fasiq.
(وَ) السَّادِسُ (الْعَدَالَةُ) فَلَا يَكُوْنُ الْوَلِيُّ فَاسِقًا
Dari keterangan di atas, mushannif mengecualikan permasalahan yang tercakup di dalam ungkapan beliau,
وَاسْتَثْنَى الْمُصَنِّفُ مِنْ ذَلِكَ مَا تَضَمَّنَهُ قَوْلُهُ
Hanya saja, sesungguhnya pernikahan wanita kafir dzimmi tidak mengharuskan walinya beragama islam.

(إِلَّا أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ
Pernikahan seorang budak wanita tidak mengharuskan majikkannya adil, sehingga hukumnya sah walaupun majikan yang menikahkannya adalah orang fasiq.

وَلَا(يَفْتَقِرُ (نِكَاحُ الْأَمَّةِ إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ) فَيَجُوْزُ كَوْنُهُ فَاسِقًا
Semua syarat yang telah disebutkan di dalam wali juga disyaratkan di dalam dua saksi nikah.

وَجَمِيْعُ مَا سَبَقَ فِيْ الْوَلِيِّ يُعْتَبَرُ فِيْ شَاهِدَيِ النِّكَاحِ
Adapun buta tidak sampai mencacatkan hak menjadi wali menurut pendapat al ashah.
وَأَمَّا الْعَمَى فَلَا يَقْدَحُ فِيْ الْوِلَايَةِ فِيْ الْأَصَحِّ

Urutan Wali Nikah

Wali-wali yang paling berhak menikahkan adalah ayah, lalu kakek yang menjadi ayahnya ayah, kemudian ayahnya kakek dan seterusnya.

(وَأَوْلَى الْوُلَّاةِ) أَيْ أَحَقُّ الْأَوْلِيَاءِ بِالتَّزْوِيْجِ (الْأَبُّ ثُمَّ الْجَدُّ أَبُوْ الْأَبِّ) ثُمَّ أَبُوْهُ وَهَكَذَا
Kakek yang lebih dekat dengan wanita yang hendak dinikahkan harus didahulukan daripada kakek yang lebih jauh.

وَيُقَدَّمُ الْأَقْرَبُ مِنَ الْأَجْدَادِ عَلَى الْأَبْعَدِ
Kemudian saudara lelaki seayah seibu (kandung). Seandainya mushannif mengungkapkan, “asy syaqiq (kandung)”, niscaya lebih ringkas.

(ثُمَّ الْأَخُّ لِلْأَبِّ وَالْأُمِّ) وَلَوْ عَبَّرَ بِالشَّقِيْقِ لَكَانَ أَخْصَرَ
Kemudian saudara lelaki seayah. Lalu anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu walaupun hingga ke bawah.

(ثُمَّ الْأَخُّ لِلْأَبِّ ثُمَّ ابْنُ الْأَخِّ لِلْأَبِّ وَالْأُمِّ) وَإِنْ سَفُلَ
Kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah walaupun hingga ke bawah.

(ثُمَّ ابْنُ الْأَخِّ لِلْأَبِّ) وَإِنْ سَفُلَ 
Kemudian paman dari jalur ayah yang seayah seibu (dengan ayah). Lalu paman dari jalur ayah yang seayah (dengan ayah).

(ثُمَّ الْعَمُّ) الشَّقِيْقُ ثُمَّ الْعَمُّ لِلْأَبِّ
Kemudian anak laki-lakinya, maksudnya anak laki-laki masing-masing dari keduanya walaupun hingga ke bawah sesuai dengan urutan di atas.

(ثُمَّ ابْنُهُ) أَيِ ابْنُ كُلٍّ مِنْهُمَا وَإِنْ سَفُلَ (عَلَى هَذَا التَّرْتِيْبِ) 
Sehingga anak laki-laki paman yang seayah seibu lebih didahulukan dari pada anak laki-laki paman yang seayah.

فَيُقَدَّمُ ابْنُ الْعَمِّ الشَّقِيْقِ عَلَى ابْنِ الْعَمِّ لِلْأَبِّ .
Jika ahli ashabah dari jalur nasab sudah tidak ada, maka yang berhak menikahkan adalah majikan laki-laki yang telah memerdekakannya.

(فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ) مِنَ النَّسَبِ (فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ) الذَّكَرُ
Kemudian ahli ashabah majikan tersebut sesuai dengan urutan di dalam masalah warisan.

(ثُمَّ عَصَبَاتُهُ) عَلَى تَرْتِيْبِ الْإِرْثِ
Adapun majikan wanita yang telah memerdekakan ketika ia masih hidup, maka yang berhak menikahkan wanita yang telah ia merdekakan adalah orang yang berhak menikahkan majikan tersebut sesuai dengan urutan yang telah dijelaskan di dalam urutan wali dari jalur nasab.

أَمَّا الْمَوْلَاةُ الْمُعْتِقَةُ إِذَا كَانَتْ حَيَّةً فَيُزَوِّجُ عَتِيْقَتَهَا مَنْ يُزَوِّجُ الْمُعْتِقَةَ بِالتَّرْتِيْبِ السَّابِقِ فِيْ أَوْلِيَاءِ النَّسَبِ
Jika majikan wanita yang telah memerdekakan tersebut telah meninggal dunia, maka yang menikahkan wanita yang telah dimerdekakan olehnya adalah orang yang mendapat waris wala’ dari majikan wanita tersebut, kemudian anak laki-lakinya, lalu cucu laki-laki dari anak laki-lakinya.

فَإِذَا مَاتَتِ الْمُعْتِقَةُ زَوَّجَ عَتِيْقَتَهَا مَنْ لَهُ الْوَلَاءُ عَلَى الْمُعْتِقَةِ ثُمَّ ابْنُهُ ثُمَّ ابْنُ ابْنِهِ
Kemudian seorang hakim berhak menikahkan ketika wali dari jalur nasab dan wala’ sudah tidak ada.
(ثُمَّ الْحَاكِمُ) يُزَوِّجُ عِنْدَ فَقْدِ الْأَوْلِيَاءِ مِنَ النَّسَبِ وَالْوَلَاءِ

Lamaran

Kemudian mushannif beranjak menjelaskan permasalahan khitbah (melamar). Lafadz “al khitbah” dengan terbaca kasrah huruf kha’nya.

ثُمَّ شَرَعَ الْمُصَنِّفُ فِيْ بَيَانِ الْخِطْبَةِ بِكَسْرِ الْخَاءِ
Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki yang melamar seorang wanita untuk menikah.

وَهِيَ الْتِمَاسُ الْخَاطِبِ مِنَ الْمَخْطُوْبَةِ النِّكَاحَ
Mushannif berkata, “tidak diperkenankan melamar wanita yang sedang menjalankan iddah wafat, talak ba’in dan talak roj’i, dengan bahasa sharih (terang-terangan).

فَقَالَ (وَلَا يَجُوْزُ أَنْ يُصَرِّحَ بِخِطْبَةِ مُعْتَدَّةٍ) عَنْ وَفَاةٍ أَوْ طَلَاقٍ بَائِنٍ أَوْ رَجْعِيٍّ
Sharih adalah bahasa yang secara tegas menunjukkan keinginan untuk meminang, seperti ucapan seorang laki-laki pada wanita yang menjalankan iddah, “aku ingin menikahi kamu.”
وَالتَّصْرِيْحُ مَا يَقْطَعُ بِالرَّغْبَةِ فِيْ النِّكَاحِ كَقَوْلِهْ لِلْمُعْتَدَّةِ "اُرِيْدَ نِكَاحُكَ"
Jika seorang wanita yang sedang iddah namun bukan iddah talak raj’i, maka diperkenankan melamarnya dengan ta’ridl (bahasa sindiran), dan menikahinya setelah iddahnya selesai.

(وَيَجُوْزُ) إِنْ لَمْ تَكُنِ الْمُعْتَدَّةُ عَنْ طَلَاقٍ رَجْعِيٍّ (أَنْ يُعَرِّضَ لَهَا) بِالْخِطْبَةِ (وَيَنْكِحَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا)
Ta’ridl adalah ungkapan yang tidak secara tegas menunjukkan keinginan untuk menikahinya akan tetapi hanya ihtimal (mirip-mirip) saja, seperti ungkapan seorang lelaki yang ingin melamar pada seorang wanita, “banyak sekali laki-laki yang menyukaimu.”

وَالتَّعْرِيْضُ مَا لَا يَقْطَعُ بِالرَّغْبَةِ فِيْ النِّكَاحِ بَلْ يَحْتَمِلُهَا كَقَوْلِ الْخَاطِبِ لِلْمَرْأَةِ "رُبَّ رَاغِبٍ فِيْكَ"
Sedangkan wanita yang terbebas dari hal-hal yang mencegah untuk menikah dan sebelumnya tidak ada yang melamar, maka diperkenankan melamarnya dengan bahasa sindiran dan bahasa terang-terangan.
أَمَّا الْمَرْأَةُ الْخَلِيَّةُ مِنْ مَوَانِعِ النِّكَاحِ وَعَنْ خِطْبَةٍ سَابِقَةٍ فَيَجُوْزُ خِطْبَتُهَا تَعْرِيْضًا وَتَصْرِيْحًا

Pembagian Wanita

Wanita terbagi menjadi dua, wanita-wanita janda dan perawan.
(وَالنِّسَاءُ عَلَى ضَرْبَيْنِ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارٍ)

Wanita janda adalah wanita yang keperawanannya telah hilang sebab wathi’ yang halal atau haram. Sedangkan wanita perawan adalah sebaliknya.

وَالثَّيْبُ مَنْ زَالَتْ بِكَارَتُهَا بِوَطْءٍ حَلَالٍ أَوْ حَرَامٍ وَالْبِكْرُ عَكْسُهَا
Bagi seorang ayah dan kakek -ketika sama sekali tidak ada ayah atau ayahnya tidak bisa menjadi wali- diperkenankan meng-ijbar (memaksa) anak perawannya untuk menikah, jika memang memenuhi syarat-syarat ijbar.

(فَالْبِكْرُ يَجُوْزُ لِلْأَبِّ وَالْجَدِّ) عِنْدَ عَدَمِ الْأَبِّ أَصْلًا أَوْ عَدَمِ أَهْلِيَّتِهِ (إِجْبَارُهَا) أَيِ الْبِكْرِ (عَلَى النِّكَاحِ) إِنْ وُجِدَتْ شُرُوْطُ الْإِجْبَارِ
Yaitu calon mempelai wanita belum pernah diwathi’ vaginanya, dan dinikahkan dengan lelaki sepadan dengan mas kawin standar wanita tersebut yang diambilkan dari mata uang daerah setempat.

بِكَوْنِ الزَّوْجَةِ غَيْرَ مَوْطُوْأَةٍ بِقُبُلٍ وَأَنْ تُزَوَّجَ بِكُفْءٍ بِمَهْرِ مِثْلِهَا مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ
Sedangkan wanita janda tidak diperkenankan bagi walinya menikahkan kecuali setelah wanita tersebut baligh dan memberi izin dengan ucapan tidak dengan diam saja.
(وَالثَّيِّبُ لَا يَجُوْزُ) لِوَلِيِّهَا (تَزْوِيْجُهَا إِلَّا بَعْدَ بُلُوْغِهَا وَإِذْنِهَا) نُطْقًا لَا سُكُوْتًا.

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Takdir


KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM NIKAH

Dalam sebagian redaksi dengan menggunakan bahasa, “hukum dan permasalahan yang terkait dengan nikah.”
وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَمَا يَتَّصِلُ بِهِ
(مِنَ الْأَحْكَامِ وَالْقَضَايَا)
Kalimat ini tidak tercantum di dalam sebagian redaksi matan.

وَهَذِهِ الْكَلِمَةُ سَاقِطٌ مِنْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ
Nikah secara bahasa diungkapkan untuk makna mengumpulkan, wathi’ dan akad.

وَالنِّكَاحُ يُطْلَقُ لُغَةً عَلَى الضَّمِّ وَالْوَطْءِ وَالْعَقْدِ
Dan secara syara’ diungkapkan untuk menunjukkan akad yang memuat beberapa rukun dan syarat.
وَيُطْلَقُ شَرْعًا عَلَى عَقْدٍ مُشْتَمِلٍ عَلَى الْأَرْكَانِ وَالشُّرُوْطِ

Hukum Nikah

Nikah disunnahkan bagi orang yang membutuhkannya sebab keinginan kuat di dalam dirinya untuk melakukan wathi’ dan ia memiliki biaya seperti mas kawin dan nafkah.

(وَالنِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ) بِتَوْقَانِ نَفْسِهِ لِلْوَطْءِ وَيَجِدُ اُهْبَتَهُ كَمَهْرٍ وَنَفَقَةٍ
Jika ia tidak memiliki biaya, maka tidak disunnahkan baginya untuk menikah.
فَإنْ فَقِدَ الْأُهْبَةَ لَمْ يُسْتَحَبَّ لَهُ النِّكَاحُ .


Nikah Empat Wanita Bagi Laki-Laki Merdeka
dan Dua Wanita Bagi Budak

Bagi laki-laki merdeka hanya diperkenankan untuk mengumpulkan (dalam pernikahan) empat wanita merdeka saja.

(وَيَجُوْزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ) فَقَطْ
Kecuali jika haknya hanya satu saja seperti nikahnya lelaki idiot dan sesamanya, yaitu pernikahan yang tergantung pada kebutuhan saja.

إِلَّا إِنْ تَتَعَيَّنَ الْوَاحِدَةُ فِيْ حَقِّهِ كَنِكَاحِ سَفِيْهٍ وَنَحْوِهِ مِمَّا يَتَوَقَّفُ عَلَى الْحَاجَةِ
Bagi seorang budak walaupun budak mudabbar, muba’adl, mukatab, atau budak yang digantungkan kemerdekaannya dengan sebuah sifat, diperkenankan hanya mengumpulkan dua istri saja.
(وَ) يَجُوْزُ (لِلْعَبْدِ) وَلَوْ مُدَبَّرًا أَوْ مُبَعَّضًا أَوْ مُكَاتَبًا أَوْ مُعَلَّقًا عِتْقُهُ بِصِفَةٍ (أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ اثْنَيْنِ) أَيِ الزَّوْجَتَيْنِ فَقَطْ

Menikah Dengan Budak Wanita

Laki-laki merdeka tidak diperkenankan menikahi budak wanita orang lain keculai dengan dua syarat, yaitu tidak memiliki mas kawin untuk menikahi wanita merdeka, tidak menemukan wanita merdeka atau tidak ada wanita merdeka yang berkenan menikah dengannya, dan ada kekhawatiran melakukan zina selama tidak menemukan wanita merdeka.

(وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَّةً) لِغَيْرِهِ (إِلَّا بِشَرْطَيْنِ عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ) أَوْ فَقْدِ الْحُرَّةِ أَوْ عَدَمِ رِضَاهَا بِهِ (وَخَوْفِ الْعَنَتِ) أَيِ الزِّنَا مُدَّةَ فَقْدِ الْحُرَّةِ
Mushannif meninggalkan dua syarat yang lain,

وَتَرَكَ الْمُصَنِّفُ شَرْطَيْنِ آخَرَيْنِ
Yang pertama, dia tidak memiliki istri wanita merdeka, baik muslim atau ahli kitab yang masih bisa untuk dinikmati.

أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَكُوْنَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ مُسْلِمَةٌ أَوْ كِتَابِيَّةٌ تَصِحُّ لِلْاِسْتِمْتَاعِ
Yang kedua, budak wanita yang akan dinikahi oleh lelaki merdeka tersebut beragama islam. Sehingga bagi lelaki muslim tidak halal menikahi budak wanita ahli kitab.

وَالثَّانِيْ إِسْلَامُ الْأَمَّةِ الَّتِيْ يَنْكِحُهَا الْحُرُّ فَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَمَّةٌ كِتَابِيَّةٌ
Ketika lelaki merdeka menikahi budak wanita dengan syarat-syarat tersebut, kemudian ia kaya dan menikah dengan wanita merdeka, maka nikahnya dengan budak wanita tersebut tidak rusak.
وَإِذَا نَكَحَ الْحُرُّ أَمَّةً بِالشُّرُوْطِ الْمَذْكُوْرَةِ ثُمَّ أَيْسَرَ وَنَكَحَ حُرَّةً لَمْ يَنْفَسِخْ نِكَاحُ الْأَمَّةِ

Pandangan Lawan Jenis

Pandangan seorang lelaki pada wanita terbagi menjadi tujuh macam:

(وَنَظَرُ الرَّجُلِ إِلَى الْمَرْأَةِ عَلَى سَبْعَةِ أَضْرُبٍ
Yang pertama, pandangan seorang laki-laki, walaupun sudah tua rentah dan tidak mampu lagi berhubungan intim, kepada wanita lain (bukan mahram dan bukan istri) tanpa ada hajat untuk memandangnya, maka hukumnya tidak diperkenankan (Haram).
أَحَدُهَا نَظَرُهُ) وَلَوْ كَانَ شَيْخًا هَرَمًا عَاجِزًا عَنِ الْوَطْءِ (إِلَى أَجْنَبِيَّةٍ لِغَيْرِ حَاجَةٍ) إِلَى نَظَرِهَا (فَغَيْرُ جَائِزٍ)
Jika pandangannya karena ada hajat seperti bersaksi atas wanita tersebut, maka hukumnya diperkenankan.

فَإِنْ كَانَ النَّظَرُ لِحَاجَةٍ كَشَهَادَةٍ عَلَيْهَا جَازَ .
Yang kedua, pandangan seorang laki-laki pada istri dan budak perempuannya.

(وَالثَّانِيْ نَظَرُهُ) أَيِ الرَّجُلِ (إِلَى زَوْجَتِهِ وَأَمَّتِهِ
Maka baginya diperkenankan melihat pada masing-masing dari keduanya selain bagian kemaluan keduanya.

فَيَجُوْزُ أَنْ يَنْظُرَ) مِنْ كُلٍّ مِنْهُمَا  (إِلَى مَا عَدَا الْفَرْجَ مِنْهُمَا)
Sedangkan bagian kemaluan, maka hukum melihatnya adalah haram. Dan ini pendapat yang lemah.

أَمَّا الْفَرْجُ فَيَحْرُمُ نَظَرُهُ وَهَذَا وَجْهٌ ضَعِيْفٌ
Menurut pendapat al ashah adalah diperkenankan melihat bagian kemaluan akan tetapi disertai hukum makruh.

وَالْأَصَحُّ جَوَازُ النَّظَرِ إِلَيْهِ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ
Yang ketiga, pandangan seorang laki-laki pada wanita-wanita mahramnya, baik sebab nasab, radla’ ataupun pernikahan, atau pada budak wanitanya yang telah dinikahkan dengan orang lain.

(وَالثَّالِثُ نَظَرُهُ إِلَى ذَوَاتِ مَحَارِمِهِ) بِنَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ مُصَاهَرَةٍ (أَوْ أَمَّتِهِ الْمُزَوَّجَةِ
Maka diperkenankan baginya memandang anggota badan selain anggota di antara pusar dan lutut.

فَيَجُوْزُ) أَنْ يَنْظُرَ (فِيْمَا عَدَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ)
Sedangkan anggota di antara keduanya, maka hukumnya haram dipandang.

أَمَّا الَّذِيْ بَيْنَهُمَا فَيَحْرُمُ نَظَرُهُ.   
Yang ke empat adalah memandang pada wanita lain karena ingin dinikah.

(وَالرَّابِعُ النَّظَرُ) إِلَى الْأَجْنَبِيَّةِ (لِأَجْلِ) حَاجَةِ (النِّكَاحِ
Ketika seseorang ingin menikahi seorang wanita, maka diperkenankan baginya melihat wajah dan kedua telapak tangan luar dalam wanita tersebut, walaupun calon istri tersebut tidak memberi izin melakukannya.

فَيَجُوْزُ) لِلشَّخْصِ عِنْدَ عَزْمِهِ عَلَى نِكَاحِ امْرَأَةٍ النَّظَرُ (إِلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ) مِنْهَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَإِنْ لَمْ تَأْذَنْ لَهُ الزَّوْجَةُ فِيْ ذَلِكَ
Menurut tarjihnya imam an Nawawi, ketika seorang lelaki hendak melamar budak wanita, maka ia diperkenankan melihat dari wanita budak tersebut bagian badan yang diperkenankan untuk dilihat dari wanita merdeka.

وَيَنْظُرُ مِنَ الْأَمَّةِ عَلَى تَرْجِيْحِ النَّوَوِيِّ عِنْدَ قَصْدِ خِطْبَتِهَا مَا يَنْظُرُهُ مِنَ الْحُرَّةِ
Yang kelima adalah melihat karena untuk mengobati.

(وَالْخَامِسُ النَّظَرُ لِلْمُدَاوَاةِ
Maka bagi seorang dokter laki-laki diperkenankan melihat dari pasien wanita lain bagian-bagian yang butuh ia obati hingga bagian farji sekalipun.

فَيَجُوْزُ) نَظَرُ الْطَبِيْبِ مِنَ الْأَجْنَبِيَّةِ (إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِيْ يَحْتَاجُ إِلَيْهَا) فِيْ الْمُدَاوَاةِ حَتَّى مُدَاوَاةِ الْفَرْجِ
Hal itu ia lakukan di hadapan mahram, suami, atau majikan pasien wanita tersebut. Dan di sana memang tidak ada dokter wanita yang bisa mengobati pasien wanita tersebut.

وَيَكُوْنُ ذَلِكَ بِحُضُوْرِ مَحْرَمٍ أَوْ زَوْجٍ أَوْ سَيِّدٍ وَأَنْ لَا تَكُوْنَ هُنَاكَ امْرَأَةٌ تُعَالِجُهَا.
Yang ke enam adalah memandang karena tujuan bersaksi atas seorang wanita.

(وَالسَّادِسُ النَّظَرُ لِلشَّهَادَةِ) عَلَيْهَا
Maka seorang saksi diperkenankan memandang farji wanita lain ketika ia bersaksi atas perbutan zina atau melahirkan yang dialami oleh wanita tersebut.

فَيَنْظُرُ الشَّاهِدُ فَرْجَهَا عِنْدَ شَهَادَتِهِ بِزِنَاهَا أَوْ وِلَادَتِهَا
Sehingga, jika ia sengaja melihat dengan tujuan selain bersaksi, maka ia dihukumi fasiq dan persaksiannya ditolak.

فَإِنْ تَعَمَّدَ النَّظَرَ لِغَيْرِ الشَّهَادَةِ فَسَقَ وَرُدَّتْ شَهَادَتُهُ
Atau memandang karena untuk melakukan transaksi jual beli atau yang lain dengan seorang wanita.

(أَوِ) النَّظَرُ (لِلْمُعَامَلَةِ) لِلْمَرْأَةِ فِيْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ
Maka baginya diperkenankan memandang pada wanita tersebut.

(فَيَجُوْزُ النَّظَرُ) أَيْ نَظَرُهُ لَهَا
Ungkapan mushannif, “tertentu hanya memandang bagian wajahnya saja”, kembali pada permasalahan persaksian dan transaksi.

وَقَوْلُهُ (إِلَى الْوَجْهِ) مِنْهَا (خَاصَّةً) يَرْجِعُ لِلشَّهَادَةِ وَالْمُعَامَلَةِ
Yang ke tujuh adalah memandang budak wanita ketika hendak membelinya.

(وَالسَّابِعُ النَّظَرُ إِلَى الْأَمَّةِ عِنْدَ ابْتِيَاعِهَا) أَيْ شَرَائِهَا
Maka baginya diperkenankan memandang bagian-bagian badan yang butuh untuk dipandang/ dibolak balik.
(فَيَجُوْزُ) النَّظَرُ (إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِيْ يَحْتَاجُ إِلَى تَقْلِيْبِهَا)
Sehingga ia diperkenankan memandang bagian-bagian tubuh dan rambutnya, tidak bagian auratnya.
فَيَنْظُرُ أَطْرَافَهَا وَشَعْرَهَا لَا عَوْرَتَهَا .  

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Takdir