Tampilkan postingan dengan label MY SCHOOL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MY SCHOOL. Tampilkan semua postingan

mengenal gus yusuf


KH. Muhammad Yusuf Chudlori di tengah-tengah masyarakat lebih dikenal dengan sebutan khas kaum pesantren, yakni Gus Yusuf. Sebutan ini didasarkan oleh faktor kesejarahan atau latar belakang beliau yang merupakan salah satu dari sebelas putra dan putri ulama kharismatik Tegalrejo Magelang al-marhum al-magfurlah K.H Chudlori (w.1977), pendiri (muasis) Ponpes Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Magelang yang didirikan pada tahun 1944 M. Pada tahun 2008 ini Ponpes tersebut memiliki ± 3.500 santri putra dan ± 2.500 santri putri.
Gus Yusuf yang lahir di Magelang pada 9 Juli 1973 ini sangat terkenal sebagai kiai muda yang dekat dengan berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan selain beliau mengasuh pesantren, memberikan hikmah-hikmah keagamaan kepada masyarakat di berbagai majlis ta’lim, juga masih mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk perjuangan sosial-kemasyarakatan.
Diantara perjuangan sosial-kemasyarakatan yang digeluti oleh beliau adalah, mengelola komunitas kesenian-kesenian tradisional yang ada di Kab. Magelang, penasehat organisasi Komunitas Gerakan Anti Narkoba dan Zat Adiktif (KOMGANAZ) Kab. Magelang, mengelola radio komunitas (Fast-FM) yang menyiarkan program-program populis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, mulai dari kajian keagamaan, mujahadah, berita-berita aktual, konsultasi kesehatan, bincang bisnis, infotainment, dsb.
Walaupun Gus Yusuf berlatar belakang pendidikan pesantren tapi beliau sangat dekat dengan para aktifis muda dan aktifis mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan formal (sekolahan). Kedekatan ini dapat terjalin karena Gus Yusuf adalah kiai yang terbuka (egaliter) untuk berdiskusi dengan kalangan aktifis muda sebagai upaya mengurai kenyataan yang selalu berkembang seiring dengan lajunya zaman.
Aktifitas dengan kalangan muda dan mahasiswa diantaranya dapat dilihat dari seringnya beliau terlibat dalam forum-forum diskusi kaum muda NU Jawa Tengah, bahkan beliau adalah salah satu penggagas dari forum-forum diskusi di kalangan kaum muda NU tersebut. Dalam jumlah yang tidak terhitung, beliau juga sering diminta mengisi seminar, talk show, dan bentuk diskusi lainnya mulai dari tingkat lokal, nasional sampai tingkat internasional, terutama dalam forum-forum diskusi yang mengangkat tema seputar pluralisme, toleransi antar umat beragama, kebudayaan, tasawuf, dan peneguhan nilai-nilai kebangsaan.
Latar Belakang Keilmuan
Dalam bidang keilmuan, pada usia dini sampai usia SD, Gus Yusuf menempa ilmu di pondok pesantren ayahnya. Selanjutnya beliau menempa diri dalam ilmu agama pada beberapa pondok pesantren. Tahun 1985-1994, Gus Yusuf nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur di bawah asuhan KH Idris Marzuki. Selanjutnhya beliau menengguk ilmu di Pesantren Salafiyah Kedung Banteng Purwokerto, terakhir Gus Yusuf memperdalam ilmu keagamaan di Pesantren Salafiyah Bulus, Kebumen.
Karena latar pendidikan pesantren inilah, maka transformasi kelimuan melalui tradisi lisan (tutur) sudah menjadi bagian dari diri suami Vina Rohmatul Ummah (22) ini. Selain menyampaikan ilmunya di Pesantren API Tegalrejo (asuhannya), beliau juga sering berceramah di banyak majlis ta’lim, serta di radio Fast FM kelolaannya yang beralamat di Jl. K.H Hasyim Asy’ary No. 7 Pagotan Tegalrejo Magelang. Jadi, dalam hal berpanjang-panjang kata lewat lisan, kepiawaiannya tak usah diragukan.
Belakangan, Gus Yusuf yang merupakan ayah dari Ahmad Haikal Tanjani Khumaid (6), Yusfina Zahru Tsania (4), dan Aqila Alaya Sya’an (1,5) itu begitu antusias mengembangkan konsep tasawuf yang berdimensi sosial. Hal tersebut paling tidak bisa dilihat dari dakwah-dakwahnya yang disampaikan lewat siaran di radionya. Selain itu, beliau juga sangat gandrung pada persoalan kebudayaan. Kedekatannya dengan kalangan budayawan seperti Gus Mus, Cak Nun, Romo Kirjito, Tanto Mendut, Slamet Gundono, dan banyak lagi yang lain merupakan bukti dari kegandrungannya terhadap dunia kebudayaan.
Kecintaannya dengan dunia kebudayaan tersebut juga menjadi pilihan metode dakwah keagamaan beliau, yakni berdakwah dengan pendekatan ala Sunan Kalijaga. "Orang mungkin menganggap tasawuf itu sesuatu yang elitis dan sukar dipahami. Padahal kalau didedah secara sederhana dan diaplikasikan dalam dimensi kemasyarakatan, pasti akan mudah dipahami. Pola-pola dakwah Sunan Kalijaga tidak sedikit kandungan tasawufnya. Dan itu masih relevan untuk zaman sekarang." Tutur beliau penuh keyakinan.
Berjuang untuk Kepentingan Umat
Siklus zaman yang sedang sampai pada upaya demokratisasi sistem kehidupan di negeri ini, yang ditandai dengan terjadinya gerakan reformasi pada 1998, membangkitkan ghirah Gus Yusuf untuk bersama-sama dengan umat berjuang meningkatkan harkat hidup, merdeka, sejahtera, berdaulat, adil dan makmur. Dalam situasi bangsa yang dilanda krisis demikian akut sejak tahun 1997 ini, maka pilihan politik untuk perjuangan keumatan harus segera dijatuhkan.
Berangkat dari realitas sejarah bahwa selama kurang lebih 32 tahun negeri ini telah dikuasai oleh rezim otoriter, sehingga rakyat kebanyakan dibungkam hak-haknya untuk berekspresi, berpendapat, berkumpul, apalagi mengaktualisasikan ide-idenya dalam gerakan perjuangan. NU sebagai bagian integral dari rakyat Indonesia yang mayoritas hidup di pedesaan dalam tradisi pesantren juga telah dimatikan peran politik keumatan dan kebangsaannya. Maka, momentum reformasi menjadi titik awal kaum ’sarungan’ untuk bangkit kembali dengan didirikannya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh para ulama kharismatik pada 23 Juli 1998. Jejak para ulama inilah yang telah membangkitkan semangat Gus Yusuf untuk mengabdikan tenaga dan pikirannya dalam perjuangan politiknya melalui Partai Kebangkitan Bangsa.
Politik bagi Gus Yusuf adalah sebagaimana makna politik dalam Islam. Dalam Islam politik disebut dengan istilah Siyasyah(Indonesia: siasat), tapi siasat di sini adalah dalam makna positif. Siasat dijalankan adalah dalam kerangka memenuhi kemaslahatan, bukan kemadlaratan. Ini sesuai dengan kaidah fiqih "tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manut bil maslahah" (kebijakan penguasa politik yang diberlakukan untuk warga Negara harus berorientasi pada kemaslahatan atau kesejahteraan umat).
Gus Yusuf menemukan makna perjuangan politik di atas dalam Partai Kebangkitan Bangsa, karena PKB memiliki kriteria tentang kesejahteraan umat (al-maslahah al-'ammah), yaitu: (1) kemaslahatn itu bersifat esensial: kepentingan yang secara praksis-operasional mampu mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan; (2) maslahah itu ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan semata-mata individu; dan (3) maslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan atau dalil-dalil umum atau nash.
Selain kriteria kesejahteraan umat di atas, yang menjadikan Gus Yusuf ’se-hati’ dengan cita-cita politik PKB adalah kandunganmabda’ siyasy (prinsip-prinsip dasar politik) PKB, yakni menjamin hak-hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh kebijakan pemerintah. Hak-hak dasar tersebut adalah: (1) kebebasan beragama atau mempertahankan keyakinan (hifz ad-din), sebagaimana dijamin dalam UUD 45; (2) keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan di luar ketentuan hukum (hifz an-nafs); (3) keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau keluarga (hifz an-nasl); (4) keamanan harta benda atau hak milik pribadi (hifz al-mal); dan (5) kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifz al-'aql).
Mengembalikan Kedekatan PKB dengan Basis
Prinsip-prinsip perjuangan di ataslah yang menjadikan Gus Yusuf sampai hari ini masih mencurahkan tenaga dan gagasan-gagasannya di partai yang dilahirkan oleh Ormas Islam terbesar (NU) ini. Kiprahnya di dunia politik semata-mata dimaknai sebagai manifestasi diri sebagai insan yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan memperjuangkan keharmonisan dan keadilan dalam menata hidup secara kolektif. Beliau tidak pernah sama sekali berkeinginan untuk menjadi anggota legislatif atau bahkan kepala daerah.
"Untuk hidup keluarga saya, alhamdulillah saya masih cukup secara ekonomis. Saya masih punya sawah yang bisa digarap, sedikit-sedikit saya juga sudah mulai berwira usaha. Hal ini saya lakukan agar saya tidak mudah tergiur oleh ’kue-kue’ politik dan pragmatisme sesaat." Tutur Gus Yusuf.
Keteguhan komitmen beliau inilah yang memunculkan kepercayaan dari warga PKB sehingga pada tahun 1999–2007 beliau dipercaya memimpin DPC PKB Kab. Magelang. Setelah berkhidmat di DPC PKB Kab. Magelang selanjutnya Gus Yusuf ditunjuk oleh DPP PKB melalui keputusan rapat pleno DPP PKB pada 1 Mei 2007 untuk menjadi Pjs Ketua Dewan Tanfizd DPW PKB Jawa Tengah mengggantikan posisi Abdul Kadir Karding yang ditarik sebagai pengurus DPP PKB.
Transisi struktural yang terjadi di PKB Jawa Tengah dengan pengangkatan Abdul Kadir Karding sebagai pengurus DPP, menurut Gus Yusuf perlu dibarengi dengan pembenahan kultural. Dalam sebuah kesempatan ketika dihubungi Gus Yusuf menyampaikan “Di tubuh PKB sedang terjadi dua transisi, yakni transisi struklural dan transisi kultural. Transisi struktural lebih pada berjalannya roda organisasi untuk menjaga soliditas pengurus DPW dan DPC PKB se-Jawa Tengah. Sedangkan transisi kultural adalah bagaimana mengupayakan agar PKB lebih dekat dengan basis partai, yakni rakyat, pesantren, dan yang tidak kalah penting adalah kiai”. Selama ini pola hubungan antara yang struktural dengan yang kultural kurang berjalan secara seimbang. Yang sering diutamakan lebih pada hubungan struktural. Maka yang terjadi, kedekatan kultural sebagai pokok perjuangan partai menjadi tersisihkan.
Ketika proses sudah berjalan secara alamiah, dengan pengangkatan dirinya sebagai Pjs ketua DPW PKB Jateng, Gus Yusuf menilai bahwa ini adalah amanat. Ketika ditanya apa visi politiknya untuk membawa PKB Jateng ke depan, Gus Yusuf menjelaskan bahwa PKB tetap harus meneguhkan sebagai partai yang bergerak dijalur kultural, karena basis PKB memang dari akar rumput (grass root). “PKB tetap harus berjalan seiring dengan para kiai, karena memang beliau-beliau itu yang mendirikan PKB untuk kepentingan rakyat dan bangsa ini” tutur Gus Yusuf menegaskan arah perjuangan PKB Jawa Tengah ke depan. 
SUMBER:http://asfigeneration.blogspot.com/2012/10/mengenal-gus-yusuf.html

SMP Syubbanul Wathon Tegalrejo


m/
SMP Syubbanul Wathon Tegalrejo merupakan salah satu dari 151 sekolah di Indonesia yang menjadi Pilot Project Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementrian Agama RI sebagai Sekolah Berbasis Pesantren (SBP) yang berangkat dari kegelisahan para petinggi di dua Kementrian tersebut atas kondisi lembaga-lembaga pendidikan formal yang belum maksimal dalam membentuk “produk” yang berkarakter kebangsaan dan ke-Indonesiaan.
Secara geografis SMP Syubbanul Wathon terletak di kaki Gunung Merbabu, berada diantara pedesaan yang asri dan pepohonan yang rimbun sehingga tercipta lingkungan yang sejuk, hening nan jauh dari hingar bingar perkotaan yang memungkinkan tercipta suasana Belajar dan Mengajar yang kondusif. Sekolah yang berdiri pada tahun 2010 dan diresmikan pada tanggal 6 Maret 2011 oleh Menteri Pendidikan Nasional Bapak Prof. Dr. Muhamad Nuh, DEA ini berada dibawah naungan Yayasan Syubbanul Wathon, yayasan yang diprakarsai oleh Almarhum Almaghfurlah KH. Abdurrachman Chudlori dan dinahkodai adik bungsu beliau KH. M. Yusuf Chudlori yang akrab disapa Gus Yusuf. Dalam menunjang dan mendukung Visi dan Misi sekolah maka proses transformasi ilmu harus berkesinambungan selama 24 jam, salah satu ikhtiar dalam rangka mengimplementasikan program tersebut maka keberadaan Pondok Pesantren Asrama Pelajar Islam (API) Tegalrejo adalah sebuah keniscayaan.
 
Dari dunia maya kami hadir untuk menjadi pemuda bangsa (Syubbanul Wathon) yang terampil, berwawasan luas dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur pesantren dan berakhlakul karimah.
Dengan slogan “One Stop Education” kami belajar untuk menjadi yang terbaik and Happy Dunia Akherat. So, walaupun masih banyak kekurangan disana sini, tapi inilah awal kesuksesan kami. Semoga…

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam



Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo
didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH. Chudlori yaitu seorang
ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo. Beliau adalah menantu dari KH.
Dalhar pengasuh Pondok Pesantren ”Darus Salam” Watucongol Muntilan
Magelang. KH. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada
awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren
yang lain. Baru setelah berkalai-kali beliau mendapatkan saran dan usulan
dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 di tetapkanlah nama Asrama
Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya
merupakan hasil dari sholat Istikharoh. Dengan lahirnya nama Asrama
Perguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat
mampu dan mau menjadi guruyang mengajarkan dan mengembangkan
syariat-syariat Islam.
Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam
adalah adanya semangat jihad ”I’Lai kalimatillah” yang mengkristal dalam
jiwa sang pendiri itu sendiri. Dimana kondisi masyarakat Tegalrejo pada
waktu itu masih banyak yang bergelumuran dengan perbuatan-perbuatan
syirik dan anti pati dengan tata nilai sosial yang Islami. Respon Masyarakat
35
Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam
Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan. Karena pada saat itu
masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka
melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan
ta’lim wa-taa’llum (kegiatan belajar-mengajar). Sebagai seorang ulama yang
telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, KH.
Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan
tantangn yang datang.
Berkat ketegaran dan keuletan KH. Chudlori dalam upayanya
mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir
maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan,
tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar 100-an. Prestasi ini jika di
identikan dengan prestasi para pendiri pondok pesantren dalam era kemajuan
ini, barang kali biasa-biasa saja. Akan tetapi kalau melihat situasi serta
kondisi serta sistem sosial yang berlaku pada saat itu sungguh prestasi KH.
Chudlori merupakan prestasi yang lebih.
Aksi negatif masyarakat seputar setelah tiga tahun API berdiri
semakin mereda, bahkan diantara mereka yang semula anti pati ada yang
berbalik total menjadi simpati dan ikhlas menjadi pendukung setia dengan
mengorbankan segala dana dan daya yang ada demi suksesnya perjuangan
KH. Chudhori. Akan tetapi di luar dugaan dan perhitungan pada awal tahun
1948 secara mendadak API diserbu Belanda tepat pada “Kles II”. Gedung
atau fisik API yang sudah ada pada waktu itu diporak porandakan. Sejumlah
36
kitab termasuk Kitab milik KH. Chudhori dibakar hangus, sementara santrisantri
termasuk KH.Chudhori mengungsi kesuatu desa yang bernama Tejo
kecamatan Candimulyo. Kegiatan taklim wa-taalum nyaris terhenti.
Pada penghujung tahun 1949 dimana situasi nampak aman
KH.Chudhori kembali mengadakan kegiatan taklim wa-taalum kepada
masyarakat sekitar dan santripun mulai berdatangan terutama yang telah
mendengar informasi bahwa situasi di Tegalrejo sudah normal kembali,
sehingga KH.Chudhori mulai mendirikan kembali API lagi di temapt semula.
Semenjak itulah API berkembang pesat seakan bebas dari hambatan,
sehingga mulai tahun 1977 jumlah santri sudah mencapai sekitar 1500-an.
Inilah puncak prestasi KH.Chudhori di dalam membawa API ke permukaan
umat.
Adalah merupakan suratan taqdir, dimana pada saat API sedang
berkembang pesat dan melambung ke atas, KH.Chudhori dipanggil
kerahmatullah (wafat), sehingga kegiatan taklim wataalum terpaksa diambil
alih oleh putra sulungnya (KH. Abdurrohman Ch) dibantu oleh putra
Keduanya (Bp. Achmad Muhammad Ch). Peristiwa yang mengaharukan ini
terjadi pada penghujung tahun 1977.
Sudah menjadi hal yang wajar bahwa apabila disuatu pondok
pesantren terjadi pergantian pengasuh, grafik jumlah santri menurun.
Demikina juga API pada awal periode KH. Abdurrohman Ch jumlah santri
menurun drastis, sehingga pada tahun 1980 tinggal sekitar 760-an. Akan
tetapi nampak keuletan dan kegigihan KH.Chudhori telah diwariskan kepada
37
KH. Abdurrohman Ch, sehingga jumlah santri bias kembali meningkat
sampai pada tahun 1922 menurut catatan sekretaris mencapai 2698 santri.
Disini perlu dimaklumi oleh pembaca bahwa dari awal berdirinya
hingga sekarang, API hanya menerima santri putra. Meskipun usulan dan
saran dari berbagai kalangan saling berdatangan, namun belum pernah
terpikirkan secara serius untuk mendirikan pondok pesantren putri hingga
sekarang. Hal ini dapat dimaklumi karena faktor sarana dan prasarananya
kurang mendukung terutama persediaan air bersih dan tanah lokasi.
Diposkan oleh event namnam

ASRAMA PERGURUAN ISLAM (API) TEGALREJO MAGELANG


Pondok Pesantern salaf dengan nama Asrama Perguruan Islam (API) didirikan olah KH. Chudlori bin H. Ichsan di Desa Krajan, Kecamatan Tegalrejo, kabupaten Magelang pada 01 Oktober 1944 M. Bagi masyarakat, nama Desa Tegalrejo lebih popular disebut sebagai nama PP tersebut daripada nama resminya : Asrama Perguruan Islam.
Kekejaman Belanda semasa perang kemerdekaan II tahun 1948-1949 sangat dirasakan oleh segenap santri dan pengasuh PP ini. Bangunan-bangunan pesantren yang ada beserta kitab-kitab milik para pengasuh pada 1948 dirusak dan dibakar oleh Belanda. Akibatnya, selama satu tahun penuh setelah peristiwa itu, kegiatan PP Tegalrejo mengalami fathrah (vakum), tanpa kegiatan. Baru pada 1950 oleh KH. Chudlori bin Ichsan, menantu KH Dalhar, Pimpinan PP Watucongol, Muntilan Kabupaten Magelang. PP Tegalrejo dibangun lagi. PP ini telah banyak melahirkan alumni yang menjadi tokoh masyarakat. Abdurrahman Wahid. Mantarn ketua Tanfidz PBNU dan Presiden RI, tercatat sebagai salah seorang alumni PP ini.
Kegiatan Pendidikan
1. Pendidikan Sekolah
Selain kental dengan sistem salafnya yang mempelajari ilmu-ilmu fikih beserta ilmu-ilmu alatnya. Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Magelang kini telah membuka jalur pendidikan formal (sekolah) yakni SMP dan SMK Syubbanul Wathon. Yang terakhir disebut adalah sebuah lembaga pendidikan kejuruan di lingkungan Pesantren salafiyyah A.P.I Tegalrejo Magelang yang bergerak di bidang IT (Information Technologi) dan dikelola oleh Yayasan Syubbanul Wathon. SMK berbasis pesantren yang terletak dikaki gunung merapi ini merupakan sebuah wujud kepedulian pesantren A P I Tegalrejo akan pentingnya pengembangan keilmuan yang mengedepankan akhlaqul karimah.
Adapun program pendidikan (salaf) yang diselenggarakan sejak dahulu menggunakan sistem klasikal. Bentuk pendidikan yang ada berupa madrasah yang terdiri dari 7 kelas. Kurikulum yang dipakai di kelas 1 sampai kelas terakhir secara berjenjang mempelajari khusus ilmu agama, baik itu fikih, aqidah, akhlaq, tasawuf dan ilmu alat (nahwu dan sharaf) yang semuanya dengan kita berbahasa Arab.
Kitab-kitab yang diajarkan di bidang fikih antara lain safinatun- Najah, fathul Qarib, Minhajul Qowim, Fathul Wahhab, al- Mahalli, Fathul Mu’in, dan Uqdatul-Farid. Di bidang ushul fiqh antara lin Faraidul – Bahiyah. Di bidang tauhid antara lain ‘Aqidatul ‘Awam. Dan dibidang akhlaq / Tasawwuf antara lin kitab Ihya Ulumuddin.
Kelas satu sampai dengan tujuh di PP Tegalrejo, oleh masyarkat lebih dikenal dengan nama kitan yang dipelajari , seperti di tingkat I dikenal Jurumiyah Jawan, tingkat II dengan nama Jurumiyah, tingkat III dengan nama Fathul Qarib, tingkat IV dengan Alfiyah, tingkat V dengan Fathul Wahab, tingkat VI dengan Al Mahalli, tingkat VII dengan Fathul Mu’in dan di tingkat VIII dengan Ihayah Ulumuddin
2. Kegiatan Ekstarkulikuler
Sejak tahun 1993, PP Tegalrejo juga aktif setiap b ulan Ramadhan mengirimkan santri seniornay ke daerah-daerah yang membutuhkan dai/mubaligh. Daerah yang sering mengajukan permintaan antara lain Gunung Kidul, Bojonegoro, Sragen dan Banyumas.
Dilingkungan PP ini juga diselenggarakan Bahhtusl masail, yakni pembahasan masalah-masalah actual. Kegiatan lainnya adalah Jam’iyatul Quro, yakni membaca Al Qur’an secara bersama-sama. Juga “Khotbah Komplek” yaitu latihan pidato
Kemudian pertemuan setiap hari Senin yang dihadiri para alumni PP. Pertemuan ini dikenal dengan nama acara Seninin.
Pertemuan digelar setiap 35 hari sekali, yaitu pada hari Ahad Kliwon. Acara ini juga lebih dikenal sebagai acara Selapanan
Sumber :
Direktori Pesantren (Diterbitkan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren DIRJEN DEPAG 2007)
http://www.smksw.sch.id

KBR68H - Hampir seluruh kalangan ikut terlibat dalam menghijaukan kembali kawasan gunung Merapi, pasca erupsi 2012 lalu. Termasuk pimpinan pondok pesantren Salaf Tegalrejo, Magelang, Gus Yusuf. Melalui Komunitas 5 Gunung, pimpinan ponpes itu tak sungkan menghijaukan kembali kawasan tersebut.  Hal yang paling berkesan saat Radio Fast FM milik Pesantren itu ikut terlibat membantu warga saat erupsi Merapi terjadi. Seperti apa geliat Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah ini membumi dengan masyarakat?
Pesantren yang lebih dikenal dengan asrama pendidikan Islam ini berdiri tahun 1944 oleh Ndori. Niat mengembangkan nilai-nilai keislaman melalui pesantren tradisional atau salaf menjadi tujuan pendirian pesantren Tegalrejo. Namun, ponpes Tegalrejo tak lantas menutup diri dengan realita dan tuntutan masyarakat. Hingga akhirnya pesantren ini membuka pendidikan formal mulai dari jenjang SD hingga SMK. Meski begitu santri pesantren Salaf tak begitu saja ditinggalkan. Kini pesantren Salaf itu dihuni sekitar 3000 santri putra dan 1000 santri putri.
Modernitas pesantren Tegalrejo dibuktikan dengan adanya Radio yang mereka kelola. Radio bernama Fast FM itu berhasil mencakup empat Kabupaten, yakni: Temanggung, Purworejo, Megelang, dan sekitar Yogyakarta. ”Kami menyapa –jemaah di luar pesantren- tiap pagi dan terus mengajak mereka menuntut ilmu,” ungkap Pemimpin pesantren Tegalrejo Gus Yusuf Chudlori. Radio Fast FM, imbuh Gus Yusuf, menjadi sarana komunikasi pesantren dengan masyarakat. Interaktif mengudara saban hari, mulai dari tanya jawab tentang fiqih hingga persoalan kemasyarakatan. ”Setahun belakangan isu yang muncul di masyarakat adalah soal pengangguran,” jelas Gus Yusuf.
Menyikapi permasalahan itu, ponpes Tegalrejo kembali menggeliat. Materi enterpreneurship pun menjadi solusi atas kegundahan masyarakat. Tak ingin menambah jumlah pengangguran. Begitu yang diungkapkan Gus Yusuf.
”Rosululloh adalah ekonom. Ini yang sedang kita kembangkan lagi agar santri bisa kembali ke masyarakat,” kata Gus Yusuf.
Bukti lain kalau asrama pendidikan Islam membumi adalah partisipasinya saat erupsi Merapi terjadi tahun 2010 lalu. Santriwan dan santriwati Tegalrejo membuka posko Program Rumah Persaudaraan. ”Kita mengetuk pintu-pintu di rumah warga lain untuk berbagi dengan para pengungsi agar mereka layak. Ini diilhami dari hijrahnya Rosul,” jelas Gus Yusuf. Waktu itu, jelas Gus Yusuf, Rosul hijrah ke Madinah dan kaum Anshor menerima membuka pintu, sementara Muhajirin masuk. ”Nha kenapa konsep seperti ini tidak kita terapkan. Dan saat itu kita menjadi mediatornya,” terang Gus Yusuf.
”Peran pesantren Tegalrejo sangat luar biasa untuk menyambungkan antara bencana, sosial dan ekosistemnya.” Demikian ungkap Direktur Ekskutif Walhi Yogyakarta Suparlan. Ini berarti, kata Suparlan, pesantren Tegalrejo berhasil melihat erupsi Merapi secara utuh.
Akademisi sekaligus Aktivis NU M Jadul maula menilai, sejarah pertumbuhan pesantren memang tumbuh menjadi bagian dari penyelesaian masalah di masyarakat. ”Jadi ketika mengajarkan agama pun, agama yang menjadi bagian yang menjadi solusi di masyarakat,” kata Jadul.
Lebih lanjut Jadul berkata,”Kyai berperan sebagai makelar budaya. Mendialogkan budaya-budaya baru yang datang dari luar, disaring dulu dan mengembangkan apa yang positif dan mengurangi yang negatif.”
Jadul menilai pesantren Tegalrejo mampu menajwab tantangan zaman. Ini karena pesantren itu serupa dengan pesantren-pesantren sebelumnya yang tumbuh lantaran komitmennya menjaga pertumbuhan bangsa.
Tags:     Radio Fast FM      pesantren Salaf Tegalrejo